Laman

Tuesday, June 21, 2011

Komposisi Penduduk di Oud Batavia

Pada awal abad ke-17 jumlah orang Belanda di Batavia masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, banyak perkimpoian campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia.

Sementara itu, orang Tionghoa yang menetap di Batavia pun semula kebanyakan orang laki-laki, karena itu mereka banyak melakukan perkimpoian dengan penduduk pribumi, terutama wanita dari Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (seperti penduduk dalam kota dan 'Cina Benteng' di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India pun tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada adat Arab mereka.

Di dalam Kota Batavia sendiri, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten kebanyakan tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Mereka tinggal di pondok-pondok di luar tembok Batavia. Wilayah di luar kota biasa disebut Ommelanden.

Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang, terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Eropa, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor, 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa.

Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa semakin bertambah dengan cepat, walaupun sekitar sepuluh ribu orang Tionghoa dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.