Laman

Friday, April 27, 2012

Bung Karno Dan Pentingnya Teori Perjuangan


Berhadapan dengan arus teknologi informasi saat ini, khususnya internet, orang merasa digampangkan untuk mendapatkan analisa dan data untuk menjawab berbagai problem yang dihadapinya. Cukup dengan menggunakan mesin pencari google, maka berbagai jawaban yang diperlukan pun akan dijejal.

Begitu juga dengan aktivis pergerakan. Mereka juga sangat “dimanjakan” oleh keadaan tersebut. Untuk membuat suatu sikap politik, cukup mengamati pendapat ahli atau kritikus yang tersedia di internet. Akhirnya, budaya “copy-paste” pun merajalela dan membuat para aktivis malas berfikir. Silahkan hitung berapa jumlah aktivis yang piawai menuliskan gagasan-gagasannya?

Coba anda tengok sejarah perjuangan anti-kolonial. Di jaman itu, yang tentu saja belum ada internet, hampir semua tokoh pergerakan punya kebiasaan menulis dan mengelaborasi pemikiran-pemikirannya. Perdebatan dan polemik mereka tersebar di koran-koran pergerakan. Lihatlah tulisan-tulisan Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Semaun, Sjahrir, Musso, Alimin, dan lain-lain.

Soekarno sendiri sudah menekuni ‘dunia pemikiran’ sejak umur belasan. Ia berkenalan dengan pemikiran-pemikiran besar dunia saat itu: liberalisme, demokrasi, sosialisme, marxisme, nasionalisme, dan lain-lain. Dalam usia 25 tahun, ia sudah menelurkan tulisan berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”.

Dalam salah satu tulisannya yang penting, Mencapai Indonesia Merdeka, Soekarno mengutip perkataan Lenin yang terkenal: “tanpa teori revolusioner mustahil ada pergerakan yang revolusioner.”

Pentingnya Teori Perjuangan

Ia berusaha menampik ide-ide spontanitas yang menjangkiti sebagian kaum pergerakan saat itu. Pemuja spontanitas ini beranggapan bahwa kesengsaraan rakyat sudah pasti akan melahirkan radikalisme. Soekarno mengajukan pendapat lain: hanya kesengsaraan yang dibarengi didikan massa yang bisa melahirkan radikalisme.

Soekarno juga memerangi penyakit “amuk-amukan tanpa pemikiran”, yakni kecenderungan gerakan untuk menuruti hawa nafsu atau amarah saja, sehingga terkadang mengabaikan perhitungan tentang situasi objektif dan subjektif.

Ada beberapa hal yang membuat teori itu penting bagi pergerakan rakyat. pertama, kita—kaum marhaen—berhadapan dengan sebuah stelsel atau sistem. Untuk melawan sistem ini, kita mesti mengetahui asal-usul, seluk-beluknya, dan cara kerjanya. Di sini, teori sangat penting untuk menerangi perjuangan kita dalam melawan sistem itu: kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme.

Kedua, sistim itu mewujud—terutama sekali—dalam bentuk kekuasaan politik. Karena itu, bagi Soekarno, jalan untuk mengakhiri kekuasaan sistem itu adalah dengan merebut kekuasaan politik. Dengan merebut kekuasaan politik, rakyat punya kesempatan untuk mengubah syarat-syarat hidupnya: ekonomi, sosial, dan budaya.

Dalam rangka merebut kekuasaan politik itulah kaum marhaen perlu melakukan pembentukan tenaga atau kekuasaan (machtvorming). Salah satu bentuk dari macthvorming adalah pembentukan partai pelopor. Salah satu tugas partai pelopor itu adalah mengubah kemamuan massa yang onbewust (tidak sadar) menjadi bewust (sadar). Dan, dalam konteks ini, kehadiran teori revolusioner sangat diperlukan.

Soekarno selalu membedakan massal aksi dan massa aksi. Massa aksi adalah aksinya rakyat jelata yang, karena timpukan penindasan yang sudah tak tertahankan, menjadi sadar dan berkehendak membuat perubahan radikal; ingin membongkar akarnya masyarakat tua dan menggantinya dengan masyarakat baru.

Sementara massale actie adalah pergerakan rakyat yang orangnya bisa ribuan, bahkan jutaan, tapi tidak radikal dan tidak revolusioner: tidak bermaksud membongkarnya akarnya masyarakat tua dan menggantinya dengan masyarakat baru.

Dalam rangka membangun massa aksi ini, Soekarno dalam Indonesia Menggugat pernah berkata: “kami memberikan rakyat itu kursus-kursus dan majalah-majalah, agar supaya rakyat itu mengetahui seluk-beluk perjuangannya, mengetahui apa sebab ia berjuang, buat apa ia harus berjuang, dengan apa ia harus berjuang. Artinya: agar rakyat tidak menginjaki jalan yang salah dan tidak pula seperti kambing mengikuti saja tuntunan tanpa ikut memikir.”

Bagi Soekarno sangat jelas, bahwa massa aksi zonder (tanpa) teori perjuangan, massa aksi zonder kursus-kursus, brosur-brosur dan surat kabar, adalah massa aksi yang tak hidup dan tak bernyawa,–massa aksi yang oleh karenanya, tidak punya kemauan dan tidak punya will. Padahal, kemauan inilah yang menjadi motor-tenaga massa itu untuk berjuang habis-habisan.

Tetapi, teori saja tidak cukup untuk membesarkan kemauan rakyat, tetapi perlu adanya aksi yang konkret di lapangan perbuatan, baik dalam lapangan perjuangan ekonomi untuk mendatangkan perbaikan terhadap kehidupan rakyat sehari-hari maupun dalam perjuangan politik. Inilah versi Soekarno mengenai kesatuan antara teori dan praktek.

Menolak Dogmatisme

Soekarno banyak menggunakan analisa marxisme sebagai teori perjuangannya. Ia sendiri menyebut dirinya sebagai seorang marxis.

Akan tetapi, Bung Karno memperlakukan marxisme, seperti dikatakannya sendiri, sebagai teori politik sekaligus panduan aksi (the guiding theory). Marxisme adalah the guiding theory untuk menjalankan perjuangan.

Ia menganggap teori perjuangan itu sebagai alat analisa yang tidak boleh statis, tidak boleh terhenti menjadi kitab suci, dan tidak boleh mengabaikan perkembangan atau situasi-situasi baru yang dihadapi pergerakan.

Soal ini, pada tahun 1926, saat menulis ”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, Soekarno sudah mengatakan: ”Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala jaman. Teori-teorinya haruslah diubah, kalau jaman itu berubah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut.”

Ada hal yang menarik di sini. Pertama, Bung Karno tidak mengurung dirinya dalam aliran pemikiran marxis tertentu: leninisme, trotskisme, maoisme, sosial-demokrasi (sosdem), dan lain-lain.

Ia tahu ada marxis saya kiri (left-wing) dan ada sayap kanan (right-wing). Soekarno mengetahui, misalnya, Otto Bauer sebagai marxis kanan. Akan tetapi, seperti anda ketahui, Soekarno banyak belajar teori kebangsaan dari Otto Bauer. Tetapi, lagi-lagi teori bangsa ala Otto Bauer itu tidak ditelan mentah-mentah, tetapi juga dikritik kelemahan-kelemahannya.

Soekarno juga terbuka terhadap pemikiran lain di luar marxisme. Ia mempelajari konsep nasionalisme Sun Yat Sen dan Gandhi. Ia mengarungi pemikiran Thomas Jefferson, JJ Rousseau, dan Voltaire. Ia mempelajari teori-teori ekonominya Hobson dan Rudolf Hilferding.

Kedua, dalam mempergunakan marxisme, bung karno tidak pernah melupakan apa yang dikatakan Lenin sebagai jiwa marxisme, yaitu “analisa yang konkret terhadap situasi yang konkret.”

Karena itu, marhaenisme—salah satu inti pemikiran Soekarno—adalah “sebuah analisa yang konkret terhadap situasi konkret di Indonesia.” Dalam mempelajari marhaenisme, kata Soekarno, terlebih dahulu harus dipelajari dual: marxisme dan keadaan atau situasi konkret di Indonesia.

Soekarno sudah bergelut dengan marxisme sejak “mondok” di rumah HOS Tjokroaminoto. Aliminlah, seperti diakuinya, yang mengenalkan marxisme secara mendalam kepada Soekarno. Sejak itu, Soekarno sudah menjadi seorang marxis.

Lalu, dalam berbagai tulisan-tulisannya, Soekarno menemukan perbedaan-perbedaan situasi konkret yang dihadapi kaum marxis di eropa dan di Indonesia. Kapitalisme yang berkembang di eropa adalah kapitalisme kepabrikan (terindustrialisasi). Sedangkan di Indonesia yang berkembang masih kapitalisme pertanian dan perkebunan.

Di eropa perkembangan industri benar-benar ”zuivere industrie” (industri murni), sedangkan di Indonesia sekitar 75% masih onderming (perkebunan). Hal itu membawa konsekuensi: di Indonesia hampir 90% rakyatnya adalah marhaen—orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat produksi kecil, dan hasilnya pun cukup untuk dirinya sendiri. Sedangkan di eropa mayoritas adalah proletar murni.

Inilah inti pemikiran Soekarno soal marhaenisme. Di sini, Soekarno sebetulnya tidak membangun aliran baru dalam marxisme, melainkan menerapkan marxisme dalam realitas dan konteks Indonesia.

Ini sejalan dengan pemikiran Lenin. Kita bisa lihat seruan Lenin pada November 1919 dihadapan komunis dari bangsa-bangsa timur:

“Dihadapanmu terletak suatu tugas yang tidak pernah dihadapi oleh kaum komunis di seluruh dunia. Tugas ini ialah dengan bersandar pada teori dan praktek umum dari komunisme, kamu harus menyesuaikan dirimu dengan keadaan-keadaan istimewa yang tidak terdapat di eropa dan hendaknya cakap mengenakan teori dan praktek ini pada keadaan-keadaan, dimana massa yang pokok adalah petani, dan masalah perjuangan yang perlu dipecahkan ialah masalah perjuangan yang bukan melawan kapital, melainkan melawan sisa-sisa dari zaman tengah.”