Masyarakat Banten banyak yang terheran-heran Sjafruddin Prawiranegara  diangkat sebagai pahlawan nasional atas usul Pemerintah Banten. Banyak  warga Banten beranggapan Sjafruddin merupakan orang Minangkabau,  Sumatera.
Sesungguhnya pria yang akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional  pada 8 November 2011 ini kelahiran Banten. Sjafruddin lahir di Anyer  Kidul, Serang, Banten pada 28 Februari 1911.
Ayah Sjafruddin Raden Arsjad Prawiraatmadja, keturunan Sultan Banten.  Sang ibu, Nur Aini binti Mas Abidin Mangundiwirya, anak pejabat pangreh  praja Banten.
Meski demikian, anggapan Sjafruddin merupakan orang Minang tidak terlalu  salah. Kakek buyut pria yang biasa dipanggil Kuding itu, Sutan  Alamintan yang berasal dari lingkungan Kerajaan Pagaruyung Minang.
Sutan Alamintan mengorganisasi rakyat melawan Belanda dalam Perang  Paderi. Perang Paderi ini terkenal dengan pemimpinnya Tuanku Imam  Bonjol. Setelah ditangkap Belanda Sutan Alamintan dibuang ke Banten.
"Sutan Alam Intan adalah orang pertama yang datang ke Anyer, Banten  karena dibuang setelah ditangkap Belanda," kata ahli sejarah Nadjamudin  Busro. Nadjamudin menikah dengan keponakan Sjafruddin.
Sutan Alam Intan ini lalu menikah dengan seorang wanita bangsawan  keturunan Kasultaan Banten. Dari hasil pernikahannya itu lalu lahirlah  kakek Sjafruddin.
Dari keluarganya, darah Sjafrudin memang darah pejuang. Tidak cuma sang  kakek yang melawan Belanda. Saat Sjafruddin berumur 12 tahun, sang ayah  yang merupakan seorang jaksa juga dibuang ke Kediri, Jawa Timur, karena  dianggap memihak pribumi.
Raden Arsjad sebagai pejabat pemerintah Belanda menolak duduk bersila di  lantai saat memberi laporan kepada pejabat Belanda. Duduk bersila dan  memakai bahasa Sunda halus saat itu sudah menjadi aturan baku bagi  pejabat pribumi bila berhadapan dengan penguasa Belanda. Namun Arsjad  menentang aturan tersebut.
Saat sang ayah dibuang ke Kediri, Sjafrudin pun mengikutinya. Dengan  begitu, masa hidup presiden kedua RI yang memimpin 207 hari Pemerintah  Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini tidak banyak dilewatkan di Banten.  Tidak mengherankan bila kita akan kesulitan untuk menemukan jejak  Sjafruddin di kota Jawara tersebut.
"Di sini tidak dikenal. Lah dia saja belajar Islam bukan di Banten, tapi  belajar Islam di Sumatera Barat sampai dewasa dan memimpin PDRI dan  PRRI saat itu," terang Nadjmudin.
Tidak mengherankan bila pemberian gelar pahlawan nasional kepada  Sjafruddin pun mengejutkan masyarakat Banten. Mayoritas masyarakat  Banten baru mengetahui bila pria yang memimpin Pemerintah Darurat  Republik Indonesia (PDRI) ini merupakan orang Banten.
"Ketika ada pemberian gelar pahlawan itu banyak juga masyarakat kaget ada orang Banten (Safruddin) mendapatkan gelar itu," kata pengamat politik dan pengajar di FISIP Universitas Tirtayasa Serang, Gandung Ismanto.
Sejumlah pegawai di Kelurahan Cikoneng, Anyer Kidul, Serang misalnya  banyak yang tidak tahu sosok Sjafruddin. Pegawai lainnya mengatakan baru  tahu soal Sjafruddin setelah membaca berita soal penghargaan pahlawan  nasional.
"Karenanya apresiasi masyarakat Banten atas penghargaan ini kurang  begitu disambut meriah, kecuali keluarga sendiri, keturunan Kasultanan  Banten, masyarat elitnya atau pemerintah daerah Banten sendiri," ungkap  Gandung.
Hanya saja, sejak adanya pemberitaan pemberian gelar pahlawan nasional  itu, tidak sedikit masyarakat Banten saat ini mencari tahu informasi  soal sosok Sjafruddin. "Selama ini memori orang Banten lebih hafal  dengan legenda soal Kasultanan Banten dan yang lainnya. Nah, sekarang  mereka tahu ada putra Banten yang mendapatkan gelar pahlawan nasional,  justru ini membangkitkan dan menambah semangat tersendiri," ujar  Gandung.
Selain itu,
 ketidaktahuan masyarakat juga diakibatkan lamanya sosok  Sjafruddin dilupakan dalam sejarah kemerdekaan RI. Kehidupannya semakin  dikucilkan dari ruang publik ketika dijebloskan penjara dengan cap  pemberontak karena terlibat Pemerintah Revolusioner RI (PRRI) oleh  Presiden Soekarno.
Bahkan, 
ketika Presiden Soeharto pun sosok yang satu ini pun dianggap  musuh, karena sering mengkritisi kebijakan Orde Baru. Pada Juli 1980, Sjafruddin bersama AM Fatwa, dan Bung Tomo, dilarang memberikan khutbah Idul Fitri dengan  alasan kutbah mereka bisa memancin emosi masyarakat. Khutbah Sjafruddin  berjudul 'Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945' isinya 80 persen soal  politik.. 
Hingga kini belum diketahui langkah Pemerintah Provinsi Banten dalam  menyambut pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada putra asal Banten  ini. "Ibu (Ratu Atut Chosiyah) sedang di Jakarta mengikuti rapat," kata  salah satu ajudan Gubernur Banten, kepada detik+.
Sementara staf Humas Pemprov Banten bernama Ferry mengakui, Gubernur  Banten memang akan membuat kebijakan tersendiri terkait pemberian gelar  Pahlawan Nasional kepada Sjafruddin. "Tapi Gubernur sedang tidak ada di  sini. Beliau masih ada tugas ke Jakarta. Yang jelas kita bergembira  akhirnya ada putra Banten yang menjadi pahlawan nasional," terangnya.