JARANG-jarang Mabes Polri mengeluarkan perintah paling keras dalam menangkap bajingan: hidup atau mati. Tahun 1989, Direktur Reserse Mabes Polri Koesparmono Irsan mengeluarkan perintah kepada segenap jajaran Reserse Polri di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Sumatera Bagian Selatan agar menangkap seorang buron dengan kata-kata ancaman tadi. "Tangkap Slamet Gundul hidup atau mati." Siapa Slamet Gundul? Lelaki berpipi tembam, hidung lebar, dan tanpa lipatan kelopak mata itu dulu pernah menjadi musuh polisi nomor satu.
Namanya berubah-ubah. Kadang Slamet Santoso, lain waktu Samsul Gunawan. Tapi julukannya yang top adalah Slamet Gundul. Dialah tersangka bos kawanan garong nasabah bank bersenjata api yang belasan kali menggegerkan berbagai kota di seantero Pulau Jawa. Polisi boleh dibilang sudah mati-matian mengejar buron itu. Tapi bukan Slamet Gundul namanya, bila tidak licin.
Ia beberapa kali lolos dari kepungan polisi. Pernah tertangkap dan diadili, tapi ia kabur dari halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur, begitu vonisnya dibacakan hakim. Slamet bersama 7 kawanannya pernah dicegat oleh enam jagonya reserse Polda Ja-Teng, dari Unit Sidik Sakti, di sebuah pompa bensin di Pandansimping, Klaten, Jawa Tengah, ketika hendak beroperasi. Lewat baku tembak selama 15 menit, seorang rekan Slamet, Jarot, tewas dengan lima peluru. Sedangkan dua orang lagi, Subagio dan Sugeng, tertangkap dalam keadaan terluka.
Slamet sendiri, yang sudah kena tembak di kedua bahunya, masih bisa kabur dengan sepeda motor. Polda Jawa Tengah tentu saja gemas akibat lolosnya buron itu. Sebab, dalam setahun beroperasi di Semarang, komplotan Slamet bisa menjarah duit Rp 159,5 juta. Tahun 1989 komplotan itu merampas Rp 23 juta milik pedagang tembakau asal Kendal, Rp 40 juta uang juragan ikan, dan Rp 34 juta milik Universitas Islam Sultan Agung. Nasabah BCA cabang Peterongan kena sikat Rp 28,5 juta dan karyawan PT Nyonya Meneer kena rampok Rp 34 juta.
Setelah kelompok "Kwini", Slamet agaknya mencatat rekor perampokan dalam frekuensi kejahatan dan hasil jarahan tertinggi saat ini. Korban utamanya memang nasabah bank. "Biasanya salah seorang dari kami datang dulu ke bank dengan sepeda motor, pura-pura jadi nasabah," kata Subagio dan Sugeng, anggota kelompok Slamet yang tertangkap di Klaten, hampir serempak. Dengan penyamaran itu, kata kedua orang tadi, mereka bisa mengetahui nasabah yang mengambil uang dalam jumlah besar. Kalau sudah dapat sasaran, komplotan Slamet itu akan menguntit mangsanya dengan sepeda motor. Dengan kode itu, Slamet, yang biasanya menunggu bersama gangnya di atas mobil di luar halaman bank, segera tahu mangsa yang dituju. Setelah itu, barulah kelompok Slamet, yang bermobil, menyusul dan menghadang korban.
Modus ini diduga juga dilakukan komplotan Slamet ketika merampok di kawasan Kampung Bali, Jakarta Pusat. Ketika itu mobil Chevrolet dengan penumpang dua karyawan CV Bambu Gading akan menyetor uang Rp 10 juta ke bank. Kendaraan mereka tiba-tiba dipepet kendaraan perampok, sebuah minibus dan dua buah sepeda motor. Mobil korban benar-benar tak bisa bergerak setelah minibus itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Pada waktu itulah perampok yang bersepeda motor mengacungkan pistol lewat jendela. Ketika komplotan itu beraksi, dua polisi, di antaranya Letnan Dua Soewito, mencoba menyergap mereka. Tembak-menembak terjadi. Dua perampok tewas, empat lainnya kabur. Tapi, di pihak polisi, Soewito roboh dengan peluru bersarang satu sentimeter di bawah mata kanannya.
Sebelum "main" di Semarang, pada 1987, reserse Jakarta memang beberapa kali menguber komplotan itu. Waktu itu rekor Slamet sudah merampok 11 kali nasabah bank. Pada Januari 1987, dua regu reserse Polda Meto Jaya mengepung rumah sewaan Slamet di bilangan Pondok Kopi, Jakarta Timur. Tapi, begitu pintu rumah diketuk polisi, yang keluar cuma istrinya. Slamet sendiri, dengan menggenggam dua pistol Colt kaliber 32 dan 38 melompati tembok dua meter yang membatasi kamar mandinya dengan dapur tetangga. Di rumah itu sudah ada dua anggota polisi yang menunggunya. Tapi polisi kalah cepat. Bagai koboi mabuk, ia menembak membabi buta. Ajaib, ia menerobos pagar puluhan petugas yang mengepungnya. Ia kabur setelah menyambar sebuah Metromini yang sedang dicuci keneknya. Toh pada awal tahun itu juga polisi berhasil menjerat belut itu. Bersama dua anggota komplotannya, Jarot dan Sahut, ia dihadapkan ke meja hijau.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengganjar ketiganya masing-masing hukuman 3 tahun. Tapi, ketika petugas menggiring ketiga terpidana itu ke mobil tahanan, mereka mendorong pengawal tersebut dan segera lari. Hanya Sahut yang bisa diamankan lagi. Tapi Slamet dan Jarot kabur dengan pengendara sepeda motor, yang anehnya telah menunggu di luar halaman pengadilan.
Menurut Sugeng dan Subagio, bos mereka selama di LP Cipinang justru berhasil merekrut anggota baru dari sesama rekan tahanan di sana. "Slamet itu orangnya pandai mengambil hati, sehingga banyak yang bersedia ikut kelompoknya," kata mereka. Sugeng dan Subagio, yang masuk Cipinang juga karena merampok bank, mengaku ikut Slamet setelah berkenalan di Cipinang tersebut. Subagio, setelah menjalani hukuman selama 2 tahun, baru dilepas awal 1989. "Setelah saya keluar LP, saya lalu menghubunginya," ujarnya. Menurut mereka, meskipun Slamet yang menyusun skenario kejahatan dengan kekerasan itu, toh sebenarnya ia tak kejam. "Ia belum pernah membunuh korban-korbannya," kata Sugeng. Yang kejam itu, kata mereka, justru Jarot, yang mati tertembak di pompa bensin itu.
Terjeratnya slamet gundul
29 Juni 1991
Selama hampir delapan tahun malang melintang di dunia kejahatan, Slamet Gundul tertangkap. Berikut petualangannya.
DEBUT si raja rampok Slamet Gundul, 36 tahun, Minggu pekan lalu kandas di Surabaya. Lelaki berpipi tembam, hidung lebar, tanpa lipatan kelopak mata itu bukanlah rampok sembarang rampok. Selama sewindu ini ia malang melintang di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya di Pulau Jawa, dengan rekor sedikitnya 55 kali melakukan perampokan. Hampir selama itu pula ia beberapa kali digerebek polisi, bahkan pernah tertangkap, tapi lolos lagi.
Dua tahun lalu, ia bersama tujuh kawanannya dicegat tim tangguh reserse Polda Ja-Teng, Unit Sidik Sakti, ketika mobil yang ditumpangi kawanan itu hendak mengisi bensin di sebuah pompa bensin di Klaten. Tembak-menembak terjadi. Tiga kawanan itu terkapar disambar peluru, seorang di antaranya tewas. Tapi Slamet, yang terluka di kedua bahunya, masih sempat kabur dengan sepeda motor yang dirampasnya ketika itu juga.
Sejak itu Direktur Mabes Polri, ketika itu, Koesparmono Irsan memerintahkan jajaran polisi agar menangkap Slamet hidup atau mati. Polda Jawa Tengah menjanjikan hadiah Rp 5 juta bagi anggotanya yang berhasil menangkap perampok nekat dan licin itu. Tapi bukan Slamet namanya bila segera tertangkap. Lelaki bertato naga dan wanita pada lengannya itu selalu lolos.
Ia, kabarnya, suka berganti nama. Kadang-kadang ia bernama Slamet Santoso, lain waktu Samsul Gunawan. Di kalangan teman-temannya, Slamet, yang punya nama asli Supriadi itu, biasa dipanggil "Nyo" atau "Gundul", karena suka memotong rambutnya dengan model plontos. Tempat tinggalnya pun selalu pindah-pindah. Belum setahun di Surabaya, misalnya, sudah enam kali ia pindah kontrakan. Baru pada bulan lalu polisi Surabaya mengendusnya. Ketika itu polisi meringkus tujuh kawanan bandit yang beroperasi di Pasar Turi, di antaranya bernama Supriadi. Namun, di pemeriksaan, Supriadi tak terbukti terlibat. Hari itu juga dia dilepas.
Sebulan kemudian polisi mendapat info bahwa Supriadi itu tak lain dari Slamet Gundul. Semua petugas disebar ke lapangan sambil mengantungi ciri-ciri Slamet Gundul. Dua rumah kontrakan "Supriadi" di Dukuh Kupang dan Putat Jaya digeledah. Ternyata dia telah raib. Belakangan polisi mendapat kabar bahwa buron itu tinggal di daerah Banyuurip Kidul. Tapi ketika polisi sampai ke situ, gembong perampok itu sudah pindah. Kabar terakhir didapat dua pekan lalu. Penjahat itu, kabarnya, sedang beroperasi di daerah Morokrembangan.
Petugas berpakaian preman segera mengurung daerah yang dikenal cukup rawan kejahatan itu. Setelah menunggu selama satu setengah jam, polisi melihat "Supriadi" naik becak dari arah Jalan Perak. Lelaki berkaus merah jambu lengan panjang dengan celana panjang warna hijau itu, begitu turun dari becak, berjalan terburu-buru menuju jalan Krembangan Bhakti.
Polisi langsung menghampiri dan menegur dengan ramah. "Kamu Poniman, ya?" tanya petugas, yang sengaja memanggil dengan nama Poniman, teman kecil Slamet Gundul. "Lho, pak ini gimana. Kan saya sudah bebas," jawab Supriadi kepada Kanit Resmob Polwiltabes Surabaya, Kapten Oerip Soegianto. Petugas tetap meng- gelandang Supriadi masuk ke mobil. Ternyata tak salah, ia memang Slamet Gundul.
Lelaki berbadan kekar dengan tinggi sekitar 160 cm itu merintis kariernya dari bawah. Dalam pengakuannya kepada polisi, ia memulai debutnya dari mencongkel kendaraan bermotor sampai menodong nasabah bank. Akibat perbuatan itu, ia pernah ditahan 1 bulan di Polres Jakarta Utara, 8 bulan di Polres Jakarta Selatan, dan 4 bulan di Polda Metro Jaya. Malah pada 1987 ia bersama dua kawannya sempat diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Saat itu mereka divonis masing-masing 3 tahun penjara. Tapi, ketika digiring kembali ke mobil tahanan, Slamet mendorong pengawalnya dan segera lari.
Petugas hanya sempat memegang seorang bandit, sementara Slamet dan temannya kabur dengan sepeda motor, yang hebatnya sudah menunggu di luar pekarangan pengadilan. Setelah itu, daerah operasi Slamet berpindah ke Jawa Tengah. Hanya dalam setahun, di Semarang, komplotan Slamet dalam berbagai perampokan menjarah Rp 159,5 juta. Di Kendal ia menyabet uang pedagang tembakau Rp 23 juta, juragan ikan Rp 40 juta, dan milik Universitas Islam Sultan Agung Rp 34 juta. Komplotan ini juga menyikat uang Rp 28,5 juta milik nasabah BCA cabang Peterongan dan Rp 34 juta dari karyawan PT Nyonya Meneer. Setelah tembak-menembak dengan polisi di Klaten, pada Juli 1989, Slamet menghilang.
Ia, konon, "bertapa" selama enam bulan di tempat kelahirannya, Malang. Setelah itu, ia mulai menjarah Jawa Timur. Kini, di tahanannya di sel Polwiltabes Surabaya, Slamet dijaga ekstraketat. Lima petugas secara bergiliran menjaga selnya. Sebuah kamera dipasang untuk mengintip gerak-geriknya. Petugas pemeriksa selain dari Surabaya juga datang dari Polda Ja-Teng dan Polda Metro Jaya. Toh, seperti kata Kadit Serse Polwiltabes Surabaya, Letkol. Indarto, pemeriksaan gembong perampok itu berjalan alot.
Ia, misalnya, membantah mengacung-acungkan granat ketika bentrok dengan polisi di Klaten. Padahal, granat itu sudah ditemukan polisi bersama dua buah batu kali yang konon dipakai Slamet sebagai jimat- hanya dua senjata pistol kaliber 32 dan 38 perampok itu yang masih dicari. Baru setelah polisi mengorek keterangan dari istrinya, Marni, Slamet mengakui perihal granat itu. "Pemeriksaan terhadap Slamet Gundul jangan tergopoh-gopoh. Dia akan bungkam jika dikasari," kata Kapolda Ja-Tim, Mayjen. Koesparmono Irsan. Ketika bertemu TEMPO, Slamet Gundul yang bersorot mata tajam kelihatan tenang. "Saya merasa kejahatan saya ini biasa-biasa saja," katanya enteng. "Tapi saya sekarang sudah kapok dan tak ingin meloloskan diri lagi," tambahnya. Gatot Triyanto, Kelik M. Nugroho, dan Heddy Lugito
-----------
Slamet gundul saat ini sudah bebas. Diyakini ia sekarang bekerja untuk Tommy Winata menurut wawancara Tommy Winata dengan Majalah Gatra
Selain menampung mantan militer, Anda juga mempekerjakan bekas penjahat. Kabarnya, mantan tokoh preman Slamet Gundul juga bekerja di tempat Anda. Mengapa Anda mempekerjakan preman atau setidaknya mantan preman?
Apa pun kejahatan yang dilakukan seseorang itu kan tidak menghilangkan hak perdata dia. Itu satu. Kedua kita lihat ini orang dulu salah jalan atau melakukan tindakan-tindakan yang kurang tepat, akibatnya melanggar hukum. Karena apa? Karena memang jiwanya penjahat atau lingkungannya yang memaksa dia jadi penjahat?