Dalam kehidupan sehari-hari saya seringkali menemukan penggunaan
bahasa Indonesia yang keliru. Saya mungkin bukan mahasiswa jurusan
sastra Indonesia, tapi saya ingin mencoba membantu memaparkan
contoh-contoh penggunaan bahasa yang salah dan menyalahi kaidah bahasa
Indonesia, dan sudah terlanjur menjadi budaya umum…
PENULISAN SINGKATAN DAN AKRONIM
Singkatan merupakan perpendekan serangkaian kata ke dalam bentuk
beberapa huruf. Kata-kata yang dimaksud biasanya merujuk kepada nama
lembaga, bidang studi, nama tempat, atau istilah. Umumnya huruf-huruf
yang membentuknya adalah huruf-huruf awal dari kata-kata tersebut. Cara
membacanya pun beragam, tergantung huruf-huruf yang membentuknya. Misal,
“IPA” akan diucapkan “I-Pa” karena memiliki huruf vokal “A” di belakang
. Rasanya kita jarang sekali mendengar orang menyebut “I-P-A”. Namun
“IPS” akan dibaca “I-P-S” karena terdiri dari dua huruf mati atau
konsonan yang mengakhiri singkatan. Mustahil rasanya saat ditanya
mengenai jurusan, orang menjawab, “Saya jurusan Ipssss!”
Tapi masyarakat kita seringkali mengasosiasikan akronim sebagai
singkatan. Meski fungsinya sama-sama sebagai penyingkat, tapi akronim
memiliki bentuk yang berbeda dengan singkatan. Akronim dibentuk dari
kumpulan suku kata dari kata-kata yang disingkatnya. Nah, faktor
terpenting yang membedakan singkatan dan akronim adalah penggunaan huruf
besar dan kecil. Akronim cenderung ditulis sebagaimana layaknya nama
lembaga atau orang: diawali huruf besar, sisanya huruf kecil. Dan
membacanya tidak pernah dengan cara mengeja, melainkan selalu
mengucapkannya seperti membaca kata biasa. Misal, “Depdagri”.
Nah, lantas apa yang menjadi salah kaprah? Ya itu tadi, penyalahgunaan
huruf besar dan kecil. Masyarakat cenderung menuliskan akronim dengan
huruf besar semua. Misal, “Saya kuliah di UNPAK.” Padahal yang betul
seharusnya, “Saya kuliah di Unpak.” Karena setiap huruf dalam kata
“Unpak” bukan penyingkat. Yang menjadi penyingkat adalah suku kata “Un”
dan “Pak”.
Oya, satu hal yang terpenting, jangan menggunakan sistem CamelCase dalam
akronim, ya. Contoh “Unpak”, jangan ditulis “UnPak”, meskipun bila
ditulis tanpa disingkat, huruf P pada “Pakuan” menggunakan huruf besar.
PENYALAHGUNAAN BEBERAPA KATA
Ubah atau Rubah?
“Kau boleh acuhkan diriku… dan anggap ku tak ada… tapi takkan merubah…”
Sebuah petikan lagu yang sangat indah dari seorang Once. Saya pun suka.
Tapi kata “merubah” itu lho… mengganjal sekali! Mana sudah terlanjur
“diakui” menjadi karya seni pula, huft….
Yah, akuilah kalau kita cenderung menggunakan kata “merubah” atau
“dirubah” dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin “kambing hitam”-nya
adalah kata “berubah” yang sudah sangat familiar di telinga kita.
Sehingga tanpa sadar kita kebiasaan menerapkannya juga dalam imbuhan me-
dan di-.
Padahal yang paling tepat adalah “mengubah” dan “diubah”. Karena kata
dasarnya adalah “ubah”. Coba deh, cari kata “rubah” di kamus. Pasti
definisinya mengenai sejenis hewan dan tak ada sangkut-pautnya dengan
“rubah” yang kita maksud. Mungkin bisa dimaafkan bila kita keceplosan
menggunakan kedua kata yang salah kaprah itu dalam percakapan
sehari-hari, tapi jangan sampai “keceplosan” menggunakannya dalam karya
tulis, yaaa…!
Tinggali dan Tinggalkan
“Ku mempunyai dua hati yang tak bisa, ‘tuk kutinggali….” Pasti familiar
dong, sama petikan lagu nakal milik T2 ini. Ya, lagi-lagi ada
kesalahkaprahan bahasa yang terlanjur “diakui”. Memang, dalam beberapa
kata, imbuhan belakang –kan dan –i tidak benar-benar sepadan. Contoh,
“membubuhkan” dan “membubuhi”. Yang membedakan adalah, kata pertama
cenderung merujuk pada apa yang dibubuhkan pada sesuatu, maka kita ambil
contoh kalimat: “Saya membubuhkan tanda tangan di kertas”. Sementara
pada kata kedua, mengacu pada apa sesuatu yang dibubuhi, maka bentuk
kalimat yang ideal adalah, “Saya membubuhi kertas dengan tanda tangan”.
Mau contoh lain? Oke, misalnya, “memasukkan” berarti si subjek membuat
sesuatu masuk ke dalam sesuatu, sementara “memasuki” artinya si subjek
sendiri yang masuk ke dalam sesuatu.
Nah, ketahuan dong, kalau petikan syair T2 itu salah besar? Bahkan dari
makna pun sudah berbeda meski kata dasarnya sama. “Kutinggalkan” artinya
si “aku” menjauh dari sesuatu, sementara “kutinggali” berarti “aku”
TINGGAL DI DALAM sesuatu. Mungkin penggunaan kata “kutinggali” ini
dimaksudkan agar senada dengan kata di bait sebelumnya, yakni “dua
hati”. Tapi rasanya nggak usah maksain juga kan, Mas Dodhy? Atau memang
Anda nggak tahu? ***sombong***
Kau-
“Kau” adalah salah satu bentuk kata ganti orang kedua tunggal. Yang
menjadi salah kaprah adalah penggunaan kata “kau-” yang diikuti beberapa
kata kerja tertentu. Sama seperti “ku-”, kata “kau-” seharusnya
digabung dengan kata kerja yang mengikutinya. Misal, “kaupikir”,
“kauambil”, “kaurasakan”, atau “kausimpan”. Tapi hal ini tidak berlaku
untuk kata ganti “kamu”, “Anda”, “sampeyan”, “ente”, “yey”, dan lainnya
karena “kau-” di sini sepadan dengan “ku-” (bukan “aku”).
Geming, Seronok, dan Acuh
Salah satu penyakit berbahasa yang terparah adalah ketika makna suatu
kata diubah menjadi sangat kontradiktif dengan makna aslinya. Salah
satunya “geming”. Makna asli dari kata ini adalah “bertahan” atau “tetap
pendirian”. Contoh kalimatnya: “Meski sudah dibujuk, saya tetap
bergeming.” Tapi belakangan maknanya diputarbalikkan seratus delapan
puluh derajat menjadi “berubah pendirian”. Contoh kalimat: “Karena
dipaksa sedemikian rupa, akhirnya dia bergeming.”
Di samping itu, ada juga kata “seronok”. Entah siapa yang menyesatkan
arti kata ini menjadi sangat negatif. Mungkin karena penggalan bunyi
kata “-ronok” yang tidak enak didengar secara verbal, sehingga
menimbulkan kesan bahwa kata “seronok” berarti “tidak sopan” atau “tidak
enak dipandang”. Padahal makna “seronok” justru “sopan” atau “sedap
dipandang”. Jadi, salah besar kalau ada yang bilang, “Pakaian pelacur
itu seronok sekali!”
Terakhir, ada lagi kata yang maknanya seenaknya dibolak-balik laksana
martabak emih. Yakni “acuh”. Seperti kata “seronok”, mungkin bunyi kata
“-cuh” itu yang menimbulkan asumsi salah mengenai makna kata “acuh”.
Pernah saya menemui kalimat, “Saya sakit hati karena ucapan saya
diacuhkan.” Lha, ucapan diacuhkan kok sakit hati, sih? Harusnya senang
dong, karena artinya ucapan tersebut DIPEDULIKAN
kata gabung
Ragam jurnalistik ini banyak digunakan dalam persurat kabaran.
-> Kesalahan kalimat tersebut terletak pada penulisan kata persurat
kabaran. Memang betul, kata gabung seperti surat kabar, tanggung jawab
dan sebagainnya dituliskan terpisah. Tetapi apabila kata-kata tersebut
mendapat awalan dan akhiran, harus dituliskan serangkai. Jadi penulisan
yang betul: persuratkabaran, pertanggungjawaban.
Contoh lain:
memberi tahu ->
pemberitahuan
ambil alih ->
pengambilalihan
gotong royong ->
kegotongroyongasn
tidak adil ->
ketidakadilan
salah guna ->
disalahgunakan
jungkir balik ->
dijungkirbalikkan
menyingkat waktu
Untuk menyingkat waktu, marilah kita mulai acara ini.
->Waktu tidak dapat dipersingkat; karena itu kalimat tersebut salah. Yang betul:
Untuk menghemat waktu, marilah kita mulai acara ini.
saling
Sebagai sesama manusia, kita wajib saling tolong-menolong.
-> Kata saling sudah menunjuk pengertian dilakulkan oleh dua belah
pihak; sama benar dengan bentuk tolong-menolong. Maka yang betul:
sebagai sesama manusia, kita wajib saling menolong; atau:
sebagai sesama manusia, kita wajib tolong menolong. Bentuk yang sejenis dengan bentuk tersebut.
Saling kejar-mengejar seharusnya:
saling mengejar, kejar mengejar atau berkejar-kejaran.
Saling pegang-memegang seharusnya:
saling memegang, pegang-memegang atau berpegang-pegangan.
Bentuk seperti di atas, termasuk gejala pleonasme.
pelopor
Salah seorang yang mempelopori berdirtinya koperasi di desa ini ialah bapak saya.
-> Yang betul
memelopori. Kata tersebut berasal dari kata
dasar pelopor. Karena awalan me yang melekat padanya, maka bunyi p-nya
luluh; dan menjadi memelopori.
dipersilahkan
Para tamu dipersilahkan masuk.
-> Kesalahan kalimat tersebut pada penulisan kata dipersilahkan. Kata tersebut seharusnya dituliskan tanpa h:
dipersilakan.
waktu dan tempat saya persilakan
->Kalimat ini sering sekali dipakai orang, padahal kalimat tersebut
salah. Siapa yang biasannya dipersilakan? Jawabannya tentu saja bukan
waktu dan tempat, melainkan orangnya. Karena itu, mestinya kalimat
tersebut kita ubah:
->
Bapak atau Saudara............saya persilakan.(isilah titik-titik terwsebut dengan nama orang atau pejabat yang akan memberi sambutan)
Nah, itu baru segelintir dari seluruh kesalahan tata bahasa yang sudah
terlanjur menjadi kebiasaan masyarakat kita. Kalau sampai kebiasaan ini
mendarah daging dalam diri anak cucu kita kelak, wah, bahaya tuh!
Bisa-bisa bahasa Indonesia yang baku benar-benar musnah di kemudian
hari.
Memahami bahasa Inggris sebagai bahasa internasional memang suatu
keharusan. Tapi jangan sampai jadikan hal itu sebagai alasan untuk
bergaya sok keinggris-inggrisan. Kalau masyarakat Indonesia sendiri
banyak keliru dalam menggunakan bahasa Indonesia, wah, lantas siapa yang
harus melestarikan bahasa nasional kita ini? Orang Amerika? Orang
Malaysia? Orang Zimbabwe? Tidak mungkin, bukan?
sumber : http://bahasa.kompasiana.com/2011/09...in-sesak-dada/
Bahasa
Indonesia adalah identitas bangsa, seharusnya perkembangan zaman dan
perubahan teknologi komunikasi tidak bisa menggerusnya, apalagi hanya
demi pergaulan.