Tentara Belanda masuk Rawagede untuk satu tujuan: mencari Kapten Lukas Kustaryo. Mengapa?
VIVAnews - Ini salah satu adegan mengerikan yang terjadi 9 Desember 1947, 30 penduduk Desa Rawagede - semua laki-laki berusia di atas 14 tahun - diperintah untuk berbaris. Tanpa peringatan, dari belakang, serdadu Belanda memberondong senapan. Satu per satu mereka rebah ke tanah. Tewas.
Pembantaian sadis terjadi di sejumlah titik kampung yang kini bernama Balongsari. Hingga akhir hari, sebanyak 431 pria Rawagede tewas.
Kala itu, 300 tentara Belanda yang dipimpin Mayor Alphons Wijnen, masuk ke Rawagede untuk satu tujuan: mencari dan menangkap Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi Divisi Siliwangi yang kerap membuat repot Belanda. Oleh prajurit NICA ia dijuluki 'Begundal Karawang'.
Pemerhati sejarah, sekaligus Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman mengatakan, Lukas adalah pejuang kemerdekaan yang luar biasa. "Dia kerap menembak tentara Belanda, melolosi bajunya dan memakainya. Dia lalu menembaki Belanda," kata dia kepada VIVAnews.com, Kamis 15 September 2011.
Lukas juga dikenal piawai melaksanakan tugasnya, merebut senjata Belanda. Membajak kereta berisi senjata dan ribuan amunisi.
Suatu hari, usai menghantam Belanda di Subang, Pamanukan, sampai Cikampek, Lukas meloloskan diri dengan cara berjalan kaki. "Dia sampai di Rawagede pukul 07.00, Senin 8 Desember 1947, sehari sebelum kejadian," cerita Sukarman.
Ia lalu mengumpulkan tentara Barisan Keamanan Rakyat (BKR) di Rawagede -- merencanakan penyerangan ke Cililitan. "Sekitar jam 09.00, ada mata-mata Belanda yang tahu Lukas bergabung di Rawagede," kata pria asli Rawagede itu.
Mata-mata itu melapor ke tangsi di Karawang, di belakang alun-alun. Pihak Kawarang yang merasa tak mampu akhirnya melapor ke Jakarta. "Sorenya pukul 16.00 keluar komando, Rawagede harus dibumihanguskan," kata Sukarman.
Dia menjelaskan, selain faktor Lukas, Rawagede memang sudah lama jadi incaran Belanda. Sebab, wilayah ini adalah markas gabungan laskar pejuang. Ada lima laskar yakni Macan Citarung, Barisan Banteng, SP 88, MPHS, dan Hizbullah.
Posisi desa itu strategis, dilewati jalur rel kereta api, ada stasiun. Juga kemudahan logistik, di mana penduduk yang mampu bersedia menyumbangkan beras, bahan makanan untuk para pejuang, tanpa diminta.
Kembali ke cerita soal Lukas. Sehari sebelum tragedi meletus, pukul 15.00, Lukas dan pasukannya ke luar dari Rawagede. Berjalan kaki ke arah Sukatani. "Ia tidak tahu peristiwa Rawagede," kata Sukarman. Tidak mengetahui pasukan Belanda membantai warga, menjebol dan membakar rumah-rumah di desa itu. Membuat sungai menjadi merah dialiri darah.
Salah satu penyebab pembantaian adalah, tak ada satu pun warga yang menjawab pertanyaan serdadu Belanda: di mana Lukas, di mana para pejuang. Mereka memilih bungkam, meski mengetahuinya.
Sukarman mengaku, ia bertemu dengan Lukas di awal tahun 1990-an. Mereka syuting dokumenter soal Rawagede. Lukas juga datang saat Monumen Rawagede diresmikan tahun 1995. "Beliau meninggal 8 Januari 1997. Pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal," kata dia.
Sukarman menambahkan, Lukas berkali-kali memohon maaf pada warga Rawagede. "Dia memohon maaf, karena ulah dia bergabung, terjadi pembantaian," kata dia.
Namun, tak ada warga yang dendam. Apalagi, dulu Rawagede memang jadi incaran Belanda. Ada lagi tentang Lukas yang selalu diingat. "Tiap kali ke monumen Rawagede, dia lihat patung tentara Belanda, pasti dia nonjokin mulu. Kalau nggak pakai kaca, mungkin patung itu sudah hancur," kata Sukarman. "Sebelum meninggal, istrinya selalu hadir tiap tanggal 9 Desember, mengenang tragedi Rawagede."