Perusahaan Liem berkembang biak karena dia mampu menjalin hubungan dengan petinggi negeri.
VIVAnews - Dalam dunia bisnis nama Sudono Salim atau Liem Sioe Liong
sudah tak asing lagi. Pendiri Grup Salim ini sudah jadi legenda.
Bisnisnya di mana-mana, seluruh pelosok negeri, bahkan lintas benua.
Karier awal Liem tak banyak yang tahu. Ia lahir di Tiongkok, 10
September 1915. Kekejaman Jepang pada 1936 membulatkan tekadnya merantau
ke Kudus, Jawa Tengah, menyusul kakaknya Liem Sio Hie, dan dua pamannya
Liem Kim Tjai dan Liem Ban Hong.
Sesampai di kota kretek, ia lalu bergabung dengan kakaknya dalam bisnis
perdagangan minyak kacang tanah. Setelah itu, dia memperluas bisnisnya
pada perdagangan cengkih dan jadi pemasok ke perusahaan-perusahaan
kretek di Kudus.
Seperti dikutip dalam buku Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia
karya Richard Robison, pada 1945 perusahaan Liem berkembang biak karena
dia mampu menjalin hubungan dekat dengan petinggi negeri ini. Ia
berperan sebagai pemasok makanan, pakaian, obat-obatan. Saat memasok
kebutuhan tentara inilah dia kenal dengan Soeharto yang saat itu masih
menjadi Pangdam Diponegoro, Jawa Tengah.
Selain sektor perdagangan, Liem pada permulaan 1950 juga meluaskan
bisnisnya ke sektor lain dengan mendirikan Bank Windu Kencana. Kemudian
pada 1957 mendirikan Bank Central Asia. Sehingga saat Soeharto meraih
kekuasaan pada 1966, Liem merupakan taipan yang sudah memiliki grup
dengan berbagai macam usaha.
Kedekatan dengan Soeharto membuat Liem memiliki berbagai macam lisensi
perdagangan. Pada komoditas terigu misalnya, dengan membangun Waringin
Kencana, Liem berkongsi dengan Sudwikatmono, keluarga dekat Soeharto.
Waringin berkembang pesat gara-gara diberi izin ekpsor kopi dan karet.
Dalam impor, Waringin juga mendapat keuntungan dari komoditas cengkih.
Usahanya berkembang pesat dan Liem mulai melirik sektor otomotif. Dia
membeli lisensi distribusi Volvo, Hino, dan Sumitomo. Memang usaha ini
agak telat dibandingkan taipan-taipan lain, seperti William Soerjadjaja
yang telah memiliki Toyota dan Daihatsu.
Di sektor manufaktur, Liem membangun pabrik terigu melalui PT Bogasari,
pabrik tekstil melalui PT Tarumatex, dan pabrik semen pelalui PT
Indocement. Di tepung terigu, dia mendapat lisensi mendistribusikan
tepung terigu di Indonesia bagian barat dan pada 1983 Bogasari berhasil
menguasai pasar terigu hingga US$400 juta.
Tak cuma terigu, semen hasil produksinya juga berhasil menguasai 30
persen pangsa pasar di Indonesia. Pembangunan infrastruktur yang
jor-joran membuat pabrik ini semakin untung, dan produksinya pun terus
bertambah hingga Indocement memiliki lima pabrik. Dalam bisnis semen,
Liem berkongsi dengan Djuhar Sutanto, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risjad.
Di sektor konstruksi dan properti dia bekerjasama dengan Ciputra melalui
Grup Metropolitan yang membangun Wisma Metropolitan, Hotel Mandarin,
dan kawasan rumah mewah Pondok Indah.
Di bidang perbankan, bisnis terpenting Liem adalah BCA. Ia menggandeng
Mochtar Riady (pemilik Grup Lippo) dengan pembagian saham kala itu 24
dan 17,5 persen. Belakangan, BCA dan sejumlah aset Liem harus dilepas
untuk menebus dana talangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebesar
Rp52 triliun.
Liem saat ini masih menguasai sejumlah bisnis lain, seperti Grup
Indofood yang bergerak dalam bidang makanan dan First Pacific Holdings
yang dikendalikan dari luar negeri. Bisnis ini sekarang dikendalikan
anaknya, Anthoni Salim.
Liem, sejak kerusuhan meletup pada Mei 1998, memilih menghabiskan hari
tuanya di Singapura, hingga meninggal pada Minggu 10 Juni 2012 lalu