Kecerdasan anak tak bisa disamaratakan. Pada dasarnya, anak-anak
memiliki kecerdasan yang unik sebagai cerminan dari minat dan bakatnya.
Pemerhati
pendidikan anak Seto Mulyadi mengatakan, seringkali orangtua mengukur
kecerdasan anak melalui mata pelajaran tertentu, misalnya anak yang kuat
di mata pelajaran matematika dianggap cerdas, dan sebaliknya, stigma
kurang cerdas kerap disematkan pada anak-anak yang rendah nilai
matematikanya.
"Seolah-olah cerdas matematika di atas segalanya,
padahal anak-anak memiliki kecerdasan di sisi lain. Sebagai musisi,
pelukis, orator, atau apapun yang menjadi minat dan bakatnya," kata pria
yang akrab disapa Kak Seto dalam sebuah seminar bertajuk "Menyikapi
Kekerasan Pada Anak Usia Dini" yang digelar Universitas Muhammadiyah
Jakarta (UMJ), di Ciputat, Jakarta Selatan, Sabtu (1/9/2012).
Cara
belajar setiap anak, kata dia, juga berbeda-beda. Hal itu dipengaruhi
oleh kemampuan setiap anak menyerap materi ajar yang disampaikan.
Beberapa anak bisa belajar dengan "anteng", sedangkan lainnya bukan tak
mungkin memerlukan suasana yang berbeda.
"Ada juga yang karena bergerak anak itu menjadi cerdas. Itulah kenapa banyak lahir sekolah alam," ujarnya.
Kak
Seto menegaskan, memaksa anak untuk menguasai satu mata pelajaran atau
bidang tertentu merupakan bentuk lain dalam kekerasan kepada anak.
Sayangnya, masih banyak guru atau orangtua yang tidak menyadari hal
tersebut.
"Memaksa anak yang cerdas bernyanyi untuk cerdas
Matematika adalah kekerasan yang tidak kita sadari. Semua anak pada
dasarnya cerdas. Menjadi sayang saat tak dihargai dan tak akan bisa
cemerlang," tandasnya.