Sesuatu
yang baru, biasanya akan memicu kontroversi. Memang begitulah di
indonesia dimana masyarakatnya jika ada suatu metode yang baru tentang
apa saja dan menjadi heboh biasanya akan muncul juga
kontroversi-kontroversi atau orang-orang yang tidak setuju entah dengan
alasan tidak ilmiah ataupun yang merasa rejekinya terganggu oleh
penemuan tersebut.
Belakangan dunia kesehatan dihebohkan oleh terapi otak sebagai metode
untuk menangkal stroke. Metode Brain Washing made in Indonesia ini
banyak menuai kontroversi karena memang belum terbukti secara ilmiah
namun sudah diklaim sebagai terapi mujarab untuk menyembuhkan stroke.
Brain washing atau 'cuci otak' merupakan istilah populer yang sering
digunakan orang awam untuk menyebut suatu tindakan yang dapat mengubah
pikiran atau persepsi seseorang. Namun di Indonesia, istilah "cuci otak"
malah digunakan untuk mempromosikan sebuah pengobatan stroke. Sontak,
promosi yang sangat gencar ini pun menuai banyak kontroversi, termasuk
dari kalangan dokter saraf.
Promosi terapi cuci otak ibarat memberi angin segar bagi banyak pasien
stroke. Bagaimana tidak, terapi baru ini diklaim sangat mujarab
mengobati stroke. Semua kerak otak bisa dicuci bersih, membuat otak
segar bugar, tak peduli berapa tahun seseorang menderita stroke. Inilah
satu-satunya metode terapi cuci otak di dunia yang ditemukan oleh dokter
indonesia.
Quote:Profil Dokter Terawan
Dokter Terawan Agus Putranto Sp Rad (K) RI, yang juga seorang tentara
ini berpangkat Letkol CKM, bertugas di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
(RSPAD) Gatot Subroto yang juga di Rumah Sakit Gading Pluit.
Sebelum menjadi dokter, ia seorang tentara. Ia mendapat beasiswa untuk
mengikuti pendidikan kedokteran di FK Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta. Kelahiran Citi Sewu (utara Stasiun Tugu) Yogyakarta 5
Agustus 1964 ini, sejak kecil memang ingin sekali menjadi dokter.
Lusus dokter tahun 1990 ia ditugaskan Bali, kemudian Lombok dan terakhir
Jakarta. Ia kemudian mengambil spesialis radiologi di Surabaya. "Waktu
itu, saya melihat radiologi kurang berkembang. Saya terketuk untuk
mengembangkan radiologi intervensi," ujarnya.
Radiologi intervensi adalah bidang kedokteran yang mempergunakan alat
imaging untuk membantu memasukkan alat ke tubuh pasien, melalui lubang
alamiah atau buatan untuk penanganan kasus pembuluh darah, syaraf dan
tumor. Itu sebabnya, dr. Terawan dijuluki The Rising Star Radiologi
Intervensi di Indonesia.
Dalam setahun, ia menangani 500 pasien berbagai kasus. Ia yakin, ilmu
yang dimilikinya bisa menjadi alteratif untuk kasus-kasus emergency.
"Kita tidak kalah hebat dengan negara di Eropa dalam bidang ini. Bahkan
kita lebih unggul dibanding Singapura," ujarnya.
Ia terkesan ketika menangani pasien wanita dengan kasus kanker di leher
dan kepala. Setelah diterapi, pasien tersebut satu bulan kemudian hamil.
"Berarti, radiologi intervensi aman digunakan pada pasien," ujarnya.
Karena kesibukan, terkadang sang istri (Ester Dahlia) yang menemuinya di
rumah sakit. Di saat lain, ia mengajak istri dan anaknya (Abraham
Apriliawan) mengikuti undangan simposium atau untuk melakukan tindakan
intervensi, di dalam atau di luar negeri.
"Kalau tidak bisa melayani keluarga, jangan berpikir untuk melayani orang lain," ujarnya tentang arti penting keluarga.
Dokter yang hobi makan lontong balap dan tahu campur ini, meski dilarang
oleh anak, tetap bersikeras untuk menyanyi karena sudah menjadi hobi.
"Nggak masalah saya tidak sampai selesai melantunkan syair lagu. Saya
menyanyi untuk menghilangkan stress," dr. Terawan tertawa.
"Semakin tinggi kedudukan seseorang, dia semakin dituntut untuk melayani
orang lain," ujar Letkol CKM dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) RI.
Quote:Kontroversi Terapi Cuci Otak
Metode terapi cuci otak juga menuai kontroversi terutama dari kalangan medis.
"Di Indonesia, brain washing (BW) dipromosi sebagai sarana mengobati
stroke. Itu dilakukan oleh seorang dokter radiologist. Jadi istilah
Brain Washing sebagai terapi cuci otak menyesatkan, jauh menyimpang dari
maksud aslinya," tulis Prof. Dr. dr. Moh Hasan Machfoed, Sp.S(K), M.S,
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Padahal semua
obat dan cara pengobatan medis baru harus dibuktikan terlebih dahulu
melalui penelitian secara bertahap. Mulai dari percobaan pada hewan, uji
klinis pada manusia, hingga publikasi ilmiah. Namun prosedur cuci otak
ala Indonesia ini nampaknya tidak mengindahkan kaidah ilmiah tersebut.
Prof Hasan menjelaskan dalam pedoman terapi atau guidelines (GL) stroke
tidak dikenal istilah brain washing atau cuci otak. Dalam promosinya,
cuci otak dilakukan untuk menghilangkan sumbatan dengan cara memasukkan
obat ke dalam pembuluh darah otak.
Kalau memang itu yang dilakukan, lanjut Prof Hasan, prosedurnya disebut
trombolisis dan obat yang digunakan adalah rt tPA atau urokinase. Pada
terapi cuci otak tidak jelas obat apa yang dimasukkan karena tidak
pernah diumumkan. Karena bahaya terjadinya perdarahan otak, trombolisis
tidak boleh dilakukan melebihi 8 jam.
Prof Hasan berpesan, orang yang berniat mencuci otaknya perlu hati-hati.
Tanya dulu pendapat dokter lainnya, terutama dari spesialis saraf yang
biasa menangani stroke. Malu bertanya, bisa terjerumus di jalan.
Quote:Dahlan Iskan Mencoba Terapi Cuci Otak
Berikut ini kesaksian Dahlan Iskan yang telah mencoba terapi cuci otak :
Sambil mengambil pisau bedah, Dokter Terawan mulai menyanyikan lagu
kesukaannya: Di Doa Ibuku. Suaranya pelan tapi sudah memenuhi ruang
operasi itu.
Saya berbaring di depannya, di sebuah ruang operasi di RSPAD Gatot
Subroto Jakarta, Jumat pagi lalu. Peralatan operasi sudah disiapkan
rapi. Para perawat juga sudah berada di posisi masing-masing.
Sebenarnya saya tidak dalam keadaan sakit. Juga tidak punya keluhan apa
pun. Hanya saja saya memang sudah lama ingin melakukan ini: cuci otak.
Sejak masih jadi Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara dulu.
Keinginan itu tertunda terus oleh kesibukan yang padat, terutama setelah
menjadi Menteri BUMN. Bahkan keinginan untuk coba-coba melakukan
stemcell pun tertunda sampai sekarang.
Mencoba merasakan cuci otak ini bisa dianggap penting, bisa juga tidak.
Saya ingin mencobanya karena ini merupakan metoda baru untuk
membersihkan saluran-saluran darah di otak. Agar terhindar dari bahaya
stroke atau pendarahan di otak. Dua bencana itu biasanya datang
tiba-tiba. Kadang tanpa gejala apa-apa. Dan bisa menimpa siapa saja.
Saya tahu metode cuci otak Dokter Terawan ini masih kontroversial.
Kalangan dokter masih terbelah pendapat mereka. Masih banyak dokter yang
belum bisa menerimanya sebagai bagian dari medical treatment.
Pengobatan model Dokter Terawan, ahli radiologi yang berumur 48 tahun,
yang bermitra dengan dokter Tugas, ahli syaraf yang berumur 49 tahun,
ini masih terus dipersoalkan. Dia masih sering "diadili" di rapat-rapat
profesi kedokteran.
Saya terus mengikuti perkembangan pro-kontra itu. Termasuk ingin tahu
sendiri secara langsung seperti apa cuci otak itu. Dengan cara
menjalaninya. Kesempatan itu pernah datang tapi beberapa kali tertunda.
Ini karena ada pasien yang lebih mendesak untuk ditangani. Sebagai orang
sehat saya harus mengalah.
Kamis malam lalu kesempatan itu datang lagi. Usai sidang kabinet di
Istana, saya langsung masuk RSPAD Gatot Subroto. Berbagai pemeriksaan
awal dilakukan malam itu: periksa darah, jantung, paru dan MRI. Dan yang
juga penting dilakukan dokter Tugas adalah ini: pemetaan syaraf otak.
Beberapa test dilakukan. Untuk mengetahui kondisi syaraf maupun fungsi otak.
Keesokan harinya, pagi-pagi, saya sudah bisa menjalani cuci otak di
ruang operasi. Saya sudah tahu apa yang akan terjadi karena dua minggu
sebelumnya istri saya sudah lebih dulu menjalaninya. Saat itu saya
menyaksikan dari layar komputer.
Cuci otak ini dimulai dengan irisan pisau di pangkal paha. Saat
mengambil pisau, seperti biasa, adalah saat dimulainya Dokter Terawan
menyanyikan lagu kesukaannya: Di Doa Ibuku.
Perhatian saya pun terbelah: mendengarkan lagu itu atau siap-siap
merasakan torehan pisau ke pangkal paha yang tidak dibius. Tiba-tiba
Dokter Terawan mengeraskan suaranya yang memang merdu. Saya pun kian
memperhatikan lagu itu.
Saat puncak perhatian saya ke lagu itulah rupanya Dokter Terawan
menorehkan pisaunya. Tipuan ini berhasil membuat rasa sakit hanya
melintas sekilas.
Dan Dokter Terawan terus menyanyi:
Di waktu masih kecil
Gembira dan senang
Tiada duka kukenang
Di sore hari nan sepi
Ibuku berlutut
Sujud berdoa
Kudengar namaku disebut
Di doa ibuku
Sebuah lagu yang isinya kurang lebih saya alami sendiri saat saya masih
kecil, sebelum ibu saya meninggal saat saya berumur 10 tahun. Otomatis
perhatian saya ke lagu itu. Itulah cara Dokter Terawan membius
pasiennya.
Saya jadi teringat saat memasuki ruang operasi menjelang ganti hati enam
tahun yang lalu di RS Tianjin, Tiongkok. Ruang operasi dibuat hingar
bingar oleh lagu rock yang lagi top-topnya saat itu di sana: Mei Fei Se
Wu, yang berarti bulu mata menari-nari. Sebelum lagu berbahasa mandarin
itu berakhir saya sudah tidak ingat apa-apa lagi: saya dimatikan selama
13 jam.
Demikian juga Dokter Terawan. Sambil terus menyanyikan Di Doa Ibuku ia
mulai memasukkan kateter dari luka di pangkal paha itu. Lalu
mendorongnya menuju otak. Kateter pun terlihat memasuki otak kanan.
"Sebentar lagi akan ada rasa seperti mint," ujar Terawan.
Benar. Di otak dan mulut saya terasa “pyar” yang lembut disertai rasa mentos yang ringan.
Itulah rasa yang ditimbulkan oleh cairan pembasuh yang disemprotkan ke saluran darah di otak.
"Rasa itu muncul karena sensasi saja," katanya.
Hampir setiap dua detik terasa lagi sensasi yang sama. Berarti Dokter
Terawan menyemprotkan lagi cairan pembasuh lewat lubang di dalam kateter
itu. Saya mulai menghitung berapa “pyar” yang akan saya rasakan.
Kateter itu terus menjelajah bagian-bagian otak sebelah kanan. Pyar,
pyar, pyar. Lembut. Mint. Ternyata sampai 16 kali.
Begitu dokter mengatakan pembersihan otak kanan sudah selesai saya melirik jam. Kira-kira delapan menit.
Kateter lantas ditarik. Ganti diarahkan ke otak kiri. Rasa “pyar-mint”
yang sama terjadi lagi. Saya tidak menghitung. Perhatian saya beralih ke
pertanyaan yang akan saya ajukan seusai cuci otak nanti: mengapa
dimulainya dari otak kanan?
Usai mengerjakan semua itu, Terawan menjawab. “Karena terjadi penyumbatan di otak kiri Bapak,” katanya.
Hah? Penyumbatan? Di otak kiri? Mengapa selama ini tidak terasa? Mengapa
tidak ada gejala apa-apa? Mengapa saya seperti orang sehat 100%?
Dokter Terawan, kolonel TNI AD yang lulusan Universitas Gajah Mada
Yogyakarta dengan spesialisasi radiologi dari Universitas Airlangga
Surabaya itu, lantas menunjuk ke layar komputer. "Lihat sebelum dan
sesudahnya," ujar Terawan.
Sebelum diadakan pencucian, terlihat satu cabang saluran darah yang ke
otak kiri tidak tampak di layar. "Mestinya bentuk saluran darah itu
seperti lambang Mercy. Tapi ini tinggal seperti lambang Lexus," katanya.
Setiap orang ternyata memiliki lambang Mercy di otaknya. "Nah, setelah
yang buntu itu dijebol lambang Mercynya sudah kembali," katanya sambil
menunjuk layar sebelahnya. Jelas sekali bedanya.
Karena saluran yang buntu itu maka beban gorong-gorong di otak kanan
terlalu berat. "Lama-lama bisa terjadi pembengkakan dan pecah," katanya.
"Lalu terjadilah perdarahan di otak," tambahnya.
Alhamdulillah. Puji Tuhan. Saya pun langsung teringat Pak Sumaryanto
Widayatin, Deputi Menteri BUMN bidang Infrastruktur dan Logistik yang
hebat itu. Yang juga ketua alumni ITB itu. Yang idenya banyak itu. Yang
terobosan birokrasinya tajam itu. Sudah hampir setahun terbaring tanpa
bisa bicara dan hanya sedikit bisa menggerakkan anggota badan.
Saluran darah ke otaknya pecah justru di tengah tidurnya menjelang dini
hari. Saya sungguh menyesal tidak menyarankannya ke Terawan sebelum itu.
Penyesalan panjang yang tidak berguna. Kini, setelah perawatan yang
panjang oleh istrinya yang hebat, Pak Sum memang terlihat kian segar dan
pikirannya tetap hidup bergairah, tapi masih perlu banyak waktu untuk
bisa bicara.
Setelah cuci otak ini berhasil membersihkan gorong-gorong yang buntu,
saya kembali ke kamar. Kaki tidak boleh bergerak selama tiga jam. Tapi
sore itu saya sudah bisa terbang ke Surabaya. Untuk merayakan imlek
bersama masyarakat Tionghoa dan besoknya mengadakan khataman Al Quran
bersama para hufadz di rumah saya.
Tiap hari Dokter Terawan sibuk dengan antrean yang panjang. Ada yang karena sakit ada juga yang karena ingin tetap sehat.
Bagi yang cito! akan langsung ditangani. Tapi bagi yang sehat antrenya
sudah mencapai tiga bulan. Ini karena hanya sekitar 15 orang yang bisa
ditangani setiap hari. Lebih dari itu bisa-bisa Terawan sendiri yang
akan mengalami pendarahan di otaknya.
Belum diterimanya metode ini oleh dunia kedokteran di seluruh dunia
membuat gerak Terawan terbatas. Misalnya tidak bisa secara terbuka
mengajarkan ilmunya itu ke dokter-dokter lain agar antrean tidak terlalu
panjang. Sampai hari ini baru dialah satu-satunya di dunia yang bisa
melakukan cara ini.
Kalau profesi dokter tidak segera bisa menerima metode ini,
jangan-jangan Persatuan Insinyur Indonesia yang akan segera mengakuinya.
Anggap saja Terawan ahli membersihkan gorong-gorong yang buntu. Hanya
saja gorong-gorong itu letaknya tidak di Bundaran HI.