total jumlah penjara : 14
NAMA saya Tan Hok Liang, tapi biasa dipanggil Kok Lien. Saya dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 1 Oktober 1957, sebagai anak ke-2 dari 17 bersaudara. Pada umur 8 tahun saya masuk SD Tebing Tinggi. Ketika saya sedang senang senangnya menikmati dunia pendidikan, tiba-tiba dunia sakolah terpaksa saya tinggalkan karena ibu menyuruh saya berhenti sekolah. Jadi, saya hanya tujuh bulan menikmati bangku SD. Mulai saat itulah saya menjadi tulang punggung keluarga. Saya sadar, mungkin inilah garis hidup saya. Saya terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari
Pada usia 12 tahun, saya mulai merantau dan menjadi anak jalanan di Terminal Tebing Tinggi. Sehari-hari saya menjadi calo, mencari penumpang bus. Suatu ketika, saya berhasil mencarikan banyak penumpang dari salah satu bus. Tapi entah mengapa, tidak seperti biasanya, saya tidak diberi upah.
Terbayang di mata saya wajah kedua orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang senantiasa menunggu kiriman uang dari saya. Saya terlibat perang mulut dengan sopir bus tersebut. Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya pukulkan ke kepalanya. Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib. Di hadapan aparat kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah. Saya menuntut hak saya yang tak diberikan oleh sopir bus itu.
Sebetulnya, saya tak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib. Saya ingin hidup wajar-wajar saja. Tapi entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing Tinggi itu terulang kembali di Terminal Medan. Dulu, selama di Terminal Tebing Tinggi, saya menjadi calo. Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus.
Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat menyimpan uang, ternyata robek. Uang saya pun ikut lenyap. Saya tahu siapa yang melakukan semua itu. Saya berusaha sabar untuk tak ribut dengannya. Saya peringatkan saja dia. Ternyata, mereka malah memukuli saya. Waktu itu saya berumur 13 tahun. Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar. Saya sakit hati, karena tak satu pun teman yang membantu saya. Tanpa pikir panjang, saya ambit parang bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara kerumunan lalu saya bacok dia. Dia pun tewas. Lagi-lagi saya berurusan dengan polisi. Saat itu saya diganjar empat tahun hukuman di Penjara Jalan Tiang Listrik, Binjai. Masih saya ingat, ibu hanya menjenguk saya sekali saja.
Merantau ke Jakarta
Setelah bebas dari penjara, saya pulang kampung. Tak pernah saya sangka, ternyata orang tua saya tak mau menerima saya kembali. Mereka malu mempunyai anak yang pernah masuk penjara. Hanya beberapa jam saya berada di rumah. Setelah itu, saya hengkang, mengembara ke Jakarta dengan menumpang KM Bogowonto. Saya hanya mempunvai uang seribu rupiah. Tujuan utama saya ke Jakarta mencari alamat paman saya yang pernah menyayangi saga. Berbulan-bulan saga hidup menggelandang mencari alamat paman. Waktu itu alamat yang saya ingat hanyalah daerah Mangga Besar. Dengan susah payah, akhirnya saya temukan alamat paman. Sungguh tak saya sangka, paman yang dulu menyayangi saya, ternyata mengusir saya. Hilang sudah harapan saya untuk memperbaiki masa depan.
Tekad saya sudah bulat. Tak ada orang yang mau membantu saya untuk hidup secara wajar. Mulailah saya menjadi penjahat kecil-kecilan. Kejahatan pertama yang saya lakukan adalah menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang akan melakukan sembahyang di klenteng. Mulai saat itu saya telah berubah seratus persen. Keadaan mendorong saya untuk melakukan semua ini. Pelan-pelan dunia jambret saya tinggalkan. Saya beralih ke dunia rampok. Perdagangan obat-obat terlarang mulai saya rambah. Dan terakhir, saya beralih sebagai bandar judi. Saat-saat itulahsaya mengalami kejayaan. Masyarakat Jakarta menjuluki saya Si Anton Medan, penjahat kaliber kakap, penjahat kambuhan, yang hobinya keluar masuk penjara, dan lain-lain.
Proses mencari Tuhan
Tak terbilang berapa banyak LP (Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) yang sudah saya singgahi. Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-beluk rutan yang satu dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas yang tersedia.
Di tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan. Ketika dilahirkan, saya memang beragama Budha. Kemudian saya berganti menjadi Kristen. Entah mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi tenteram. Saya menemukan kesejukan di dalamnya.
Bayangkan, tujuh tahun saya mempelajari Islam. Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama tahanan. Misalnya, teman-teman yang terkena kasus Cicendo, dan sebagainya. Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya lalui. Akhirnya saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama.
Tapi, kenyataannya ternyata berlainan. Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa oleh aparat untuk membantu memberantas kejahatan. Terpaksa ini saga lakukan. Kalau tidak, saya bakal di 810-kan, alias didor. Dalam menjalankan tugas, saya selalu berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid. Sebutlah misalnya, Hong-lie atau Nyo Beng Seng. Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya bertindak keras kepadanya. Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.
Dan akhirnya, saya menggantikan kedudukannya sebagai mafia judi. Sudah tak terhitung berapa banyak rumah-rurnah judi yang saya buka di Jakarta. Saya pun merambah dunia judi di luar negeri. Tapi, di situlah awal kejatuhan saya. Saya kalah judi bermiliar-miliar rupiah.
Ketidakberdayaan saya itulah akhimya yang membuat saya sadar. Mulailah saya hidup apa adanya. Saya tidak neko-neko lagi. Saya ingin mengabdikan hidup saya di tengah-tengah masyarakat. Untuk membuktikan kalau saya benar-benar bertobat, saya lalu masuk Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z. Setelah itu, saya berganti nama menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.
Kiprah saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam. Bersama-sama dengan K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., dan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono, 10 Juni 1994, kami mendirikan Majels Taklim Atta'ibin.
Sengaja saya mendirikan majelis taklim ini untuk menampung dan membina para mantan napi (narapidana) dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan Yang benar. Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia. Pada tahun 1996, Majels Taklim Atta'ibin mempunyai status sebagai yayasan berbadan hukum yang disahkan oleh Notaris Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.
Kini, keinginan saya hanya satu. Saya ingin mewujudkan pangabdian saya pada masyarakat lebih jauh lagi. Saya ingin mendirikan pondok pesantren. Di pondok inilah nantinya, saya harapkan para mantan napi dan tunakarya dapat terbina denganbaik. Entah kapan pondokpesantren harapan saya itu bisa terwujud. Saya hanya berusaha. Saya yakin nur Ilahi yang selama ini memayungi langkah saya akan membimbing saya mewujudkan impian-impian itu.
Masjid Tan Hok Liang
Kelurahan Pondok Rajeg, Cibinong, Jawa Barat
----
Anton Medan : Manusia Dilahirkan Tidak Mau Jadi Penjahat
Anton Medan yang dikenal sosok seorang mantan preman besar di Indonesia namun kini sudah insyaf dan beralih menjadi seorang pendakwah menegaskan, sesungguhnya siapa pun manusia pada prinsipnya tidaklah menginginkan dirinya setelah ia dilahirkan ke dunia berkeinginan menjadi seorang penjahat.
"Perlu diketahui manusia dilahirkan pada prinsipnya tidak mau jadi penjahat," ungkap Anton Medan di sela-sela sedang memberikan ceramah bagi para napi atau warga binaan lapas Bukit Semut Sungailiat Selasa (07/06/2011) pagi.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Anton Medan terkait pandangannya dalam upaya pembinaan bagi para napi atau warga binaan tak cuma dititik beratkan kepada satu intansi saja (lapas/rutan), akan tetapi peran dari berbagai pihak pun antara lain masyarakat pun sangatlah mendukung upaya pembinaan bagi para mantan napi setelah ia dibebaskan dari tahanan.
"Sebab kita berpikir begini kejahatan itu kan berasal dari masyarakat dan pelakunya juga masyarakat. Oleh karenanya kita berharap masyarakat pun dapat berpartisipasi dalam upaya pembinaan tersebut," jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut Anton Medan sempat menyinggung peran media massa dalam upaya pembinaan termasuk persoalan pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik yang kerap menyajikan berita-berita kriminal dan tindak kejahatan lainnya.
Akan tetapi menurutnya hendaknya media massa (pers) tidak serta mesti memberitakan hal-hal yang negatif saja namun hendaknya berimbang. Sebab walau bagaimana pun media massa memiliki peranan penting dalam merubah opini di kalangan masyarakat. Bahkan media massa berperan penting pula dalam upaya melakukan pembinaan hukum bagi masyarakat lainnya selain para mantan napi.
"Dikhawatirkan image di mata masyarakat media itu jelek bila pemberitaannya selalu negatif dan mesti ada hal-hal yang positip pula dalam pemberitaanya," tegas Anton Medan.
Tak cuma itu, Anton Medan memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap lembaga pemasyarakat (lapas) di Indonesia yang akhir-akhir ini telah memberikan kebebasan para pekerja kuli tinta (wartawan) untuk meliput kegiatan di dalam lapas.
Anton Medan - Part II
Kutipan Terkenal dari Anton Medan
"Tidak ada contoh ayam mati karena kelaparan
Masa hanya karena lapar kita nekat menjadi Penjahat
Malu donk sama ayam
Percayalah, Tuhan telah mengatur rizki setiap umatnya"
(Anton Medan, 2010)
“Janganlah Masyarakat men-Judge Penjahat maupun Mantan Penjahat kepada siapapun. Masih ada kesempatan kedua, untuk itu kasih sayang dan keramah-tamahan lebih diharapkan akan dapat menghilangkan kejahatan dengan alami dilingkungan kita.”
"Pada intinya, karena lapar dan sering diolok-olok masysrakat sebagai orang jahat, akhirnya saya memutuskan untuk menjadi penjahat sekalian."
“Saya bersyukur saya bisa masuk penjara,”
“Waktu itu saya membela diri. Namun, sang pelaku tak mau mengakui perbuatannya tersebut. Saya mengambil golok tukang es dan membacok orang itu,”
“Agama itu tidak datang sendiri, tapi kita yang harus mencarinya sebagai pedoman hidup”
Istriku, aku selalu bertanya
Mengapa kejahatan musti dilahirkan
Sementara aku sendiri tidak menyukai kejahatan
Istriku, seandainya bau masakan tetangga tidak tercium oleh hidung anakku… Dia tidak merengek, menangis, meminta opor ayam
Istriku, aku tidak pernah menangis dipukuli karena mencuri ayam
Yang kutangisi adalah hilangnya senyum anak kita karena tak bisa mencicipi rasa opor ayam…
(Anton Medan, Nusakambangan)
"Makam itu hanya simbolik saja, sebagai peringatan bagi kita semua. Mati adalah suatu kepastian, dan hidup adalah perjuangan. Saya siap untuk mati"
(tanggapan Anton Medan mengenai makam dirinya di Pondok Pesantren At-Taibin. Ia sengaja membuat makam kosong untuk dirinya sendiri )
----------
Wawancara Anton Medan Mengenai Keterkaitannya dengan Kerusuhan Mei 1998
Anton Medan belakangan dijadikan tersangka yang menghasut sehingga terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998 itu.
"Massa banyak yang merusak, itu saya cegah. Mereka bahkan ada yang saya tonjok ketika sedang mengambil komputer," katanya kepada Mustafa Ismail dari TEMPO Interaktif, yang menemuinya di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Kamis, 16 Juli.
Anda sedang berada di mana saat terjadi kerusuhan itu?
Tanggal 14 Mei, jam sepuluh pagi, saya dapat telepon dari beberapa warga keturunan Cina. Mereka meminta supaya saya bisa datang ke daerah Pluit, Muara Karang, Jembatan Tiga. Mereka memberi kabar tentang adanya kerusuhan. Saya lalu naik ke lantai tiga rumah saya. Saya melihat asap sudah luar biasa. Udara sudah gelap. Lalu saya menelepon ke pondok pesantren saya di Cisarua. Saya sampaikan pada Ustadz Asep dan Ustadz Gofar agar anak-anak tidak ada yang keluar, karena saya mau ke sana.
Nah, setelah itu, saya mau keluar. Saya agak khawatir, tetapi saya berpakaian juga, pakai jubah, pakai sorban, pakai mobil pondok pesantren -- bukan mobil pribadi. Begitu saya keluar, saya terjebak massa.
Lalu, saya turun dengan Yanto, staf saya. Situasi massa waktu itu begitu amburadul. Lempar sana, lempar sini. Ketika ada yang menuju ke pom bensin, Saya mencegah mereka. Saya teriak bertakbir "Allaahu Akbar" tiga kali. Kemudian mereka teriak, "Hidup Pak Haji! Itu Anton Medan! Hidup Pak Ustadz!"
Lalu?
Mereka nggak lempar-lempar lagi, mereka nggak membakar. Terus, dengan terkendalinya massa, saya jadi termotivasi. Akhirnya, keyakinan saya makin kuat, sehingga niat saya dalam hal amal ma’ruf nahi mungkar, saya jalankan. Saya terbawa oleh arus massa.
Apa yang Anda lakukan?
Banyak yang merusak, saya cegah. Dan mereka ada yang saya tonjok ketika mengambil komputer. Saya pukul orang itu, lalu dia masuk ke gang.
Massa mana yang merusak?
Massa yang ikut saya tidak merusak. Justru yang merusak itu massa yang pakai ikat kain di kepala bertuliskan "proreformasi."
Anda bisa mengidentifikasi siapa orang-orang itu?
Saya nggak tahu. Tapi yang jelas, kayaknya bukan mahasiswa. Rambutnya cepak-cepak. Badannya gede-gede.
Bagaimana sikap mereka?
Bingungnya, ketika di Gunung Sahari, dia memberi air mineral pada saya. Dia tanya, "Bapak dari mana?" Saya bingung, padahal saya kan ulama dan tokoh masyarakat sana. Sehingga saya tanya, "Kamu dari mana, kok nggak kenal saya?" Katanya, "Sama-lah kita." Jawabnya begitu doang.
Di Jalan Gunung Sahari, Anda ketemu seorang perwira; bagaimana ceritanya?
Sampai di Gunung Sahari, arah ke Senen diblokir. Lalu, ada perwira marinir teriak-teriak memanggil saya, "Pak Ustadz! Pak Ustadz! Ini massanya diarahkan ke lapangan Kemayoran."
Soal perusakan rumah Liem Sioe Liong itu?
Rumah Om Liem saja saya nggak tahu. Sampai sekarang, saya belum ke sana.
Apakah Anda ikut juga melindungi warga etnis Tionghoa?
Sepanjang saat, saya wajib melindungi mereka. Quran sudah menjelaskan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk berkembang biak menjadi bersuku-suku, untuk saling mengenal. Bukan saling menghina, bukan saling menindas. Itu jelas. Apa bedanya kita pribumi, Batak, dengan Cina? Islam itu agama demokrasi. Faktor mereka tidak masuk Islam, itu faktor hidayah.
Dari lapangan Kemayoran, jam berapa Anda pulang ke rumah?
Ashar saya pulang ke rumah. Setelah itu saya keluar lagi. Tetapi saya tidak terpengaruh oleh massa lagi. Saya membantu orang-orang Cina yang menghubungi saya. Saya lalu ke daerah Jembatan Tiga, Pluit, Muara Karang.
Lalu?
Nggak ada kejadian apa-apa. Memang sudah dijaga sama anak buah saya, sebagian jamaah yang saya telepon. Di Muara Karang, di perbatasan itu, sudah ada yang membakar rumah, satu. Ketika itu mereka mau membakar gereja. Saya larang. Saya usir-usir semua.
Siapa indikasi yang membakar itu?
Saya nggak memperhatikan itu.
Kini Anda dijadikan tersangka. Kira-kira kenapa Anda dijadikan sasaran yang dikaitkan dengan kerusuhan pertengahan Mei itu?
Peluang mereka untuk "menembak" saya itu sangat mudah. Pertama, latar belakang saya bekas preman. Kedua, saya punya yayasan yang membina eks napi dan preman. Juga saya adalah salah satu da’i yang cukup keras bicara.
Ada faktor lain yang membuat Anda dijadikan tersangka?
Memang, saya sibuk. Saya sangat terkonsentrasi mencari siapa-siapa dalang dan pelaku kerusuhan itu, yakni yang melakukan pemerkosaan terhadap wanita-wanita keturunan Cina.
Anda bisa mengidentifikasi siapa sesungguhnya mereka itu?
Saya belum bisa berkomentar soal itu. Tapi yang jelas, bukan pelaku di lapangan itu yang saya inginkan. Itu kan ada urutannya. Kalau sebuah organisasi, saya bukan menembak cabangnya, minimal DPW-nya itulah.
Menurut Anda, bagaimana sesungguhnya masalah Trisakti itu?
Saya nggak tahu. Saya tahu peristiwa itu dari televisi dan koran.
Anda diperiksa berjam-jam. Kenapa sampai berlama-lama?
Mereka putar balik, putar balik. Mungkin mereka berharap saya keseleo lidah.
Adakah kemungkinan persaingan politik tertentu di balik pemposisian Anda sebagai tersangka?
Itu belum bisa dikomentari. Belum saatnya. Saya punya tanggung jawab moral selaku mubaligh dan selaku umat Islam.
Sekarang, apa yang akan Anda lakukan?
Saya nggak memikirkan mau dijadikan tersangka, mau dijadikan saksi, mau apa, masa bodo deh! Saya nggak memikirkan itu. Mereka mau tahan, mau periksa, oke saja.
Menurut Anda, kenapa sampai terjadi kerusuhan-kerusuhan itu?
Di era Soeharto, selama Orde Baru, saya lihat banyak kesenjangan-kesenjangan. Klimaksnya kerusuhan itu. Saya katakan, itu bukan kerusuhan rasial, bukan anti-Cina. Tidak. Tetapi ini karena ada kesenjangan. Baik komunikasi, masalah ekonomi, maupun masalah hukum.
Kenapa kalangan Tionghoa yang menjadi sasaran?
Saya tahu, banyak orang-orang Tionghoa yang eksklusif. Saya akui itu. Cuma kita lihat, apa sih penyebab yang menjadikan mereka eksklusif. Itu harus kita cari persoalannya. Mereka eksklusif, karena terlalu banyak oknum aparat yang menjual jasa, siap menjadi beking, adanya praktek upeti dan suap. Jadinya, semua persoalan dianggap selesai hanya dengan uang.
Jadi, problemnya pada kebijakan atau pada aparat?
Kebijakan-kebijakan itu perlu dibikin sebaik mungkin. Kita kembali kepada Undang-Undang Dasar pasal 27 ayat 1, tentang semua warga negara Indonesia punya hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Itu harus ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Pertama, itu. Kemudian, selama ini merasakah kita bahwa ada K-1, soal warga keturunan, kemudian ada tanda-tanda di KTP: warga nonpri. Itu harus dihapus. Bukan saja untuk Jakarta, tetapi untuk seluruh Indonesia . Kedua, perlu ada undang-undang yang melindungi kaum minoritas. Selain itu, kebijakan-kebijakan ekonomi, tolong jangan diulangi lagi kebijakan yang berorientasi kepada pelaku ekonomi yang sudah mapan. Tolong dipikirkan bagaimana membangkitkan ekonomi rakyat kecil.
Ada yang menyatakan bahwa kerusuhan Mei itu dilakukan oleh kelompok terorganisir. Menurut Anda?
Andai kata mereka mengorganisir, kalau rakyat kenyang, tidak lapar, tidak mungkin terjadi kerusuhan. Sudah lapar, dikasih makan, ya berebut. Tetapi kalau sudah kenyang, siapa mau makan?
Apakah Anda punya keyakinan bahwa Anda akan terlepas dari masalah ini?
Andai kata mereka mengikuti era reformasi, tidak ada rekayasa, intimidasi, campur tangan atau intervensi pihak luar, saya yakin cukup sampai pemeriksaan saja. Kalau saya nanti ditahan, saya sangat yakin ada intervensi.
Ada kabar bahwa Anda didanai oleh Prabowo?
Yang bener saja, ah. Bikin orang ketawa saja. Nggak ada itu. Kenal saja tidak. Namanya juga isu.
Anton Medan - Part III
Anton Medan: Lokalisasi Judi Pakai Keppres dan Di Tempat Terpencil
Jakarta - H Anton Medan, mantan bandar judi tahun 1980-an dan pengasuh Pondok Pesantren At Attaibin menyetujui wacana lokalisasi judi. Menurutnya jika judi dilokalisir, harus menggunakan Keputusan Presiden (Keppres) dan harus diadakan di tempat terpencil. Mengapa?
"Lokalisasi judi hanya di buka 1 tempat dengan menggunakan Keppres, tidak menggunakan Perda. Mengapa, karena kalau menggunakan Perda hampir seluruh daerah membuka sendiri, dan ini harus kita tolak. Syarat tempatnya pun harus terpencil dan punya potensi pengembangan pariwisata, misal di Nusakambangan," ujar Anton Medan.
Hal itu disampaikan Anton dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Jumat (2/7/2010).
Lokalisasi judi, imbuh Anton, bukan berarti menyetujui diselenggarakannya masalah judi, tapi bagaimana mengatur dan mengelola agar meminimalisir dampak dari judi. Serta memberikan solusi atas masalah sosial yang terjadi di Indonesia.
Judi itu, menurutnya, ada 2 macam. Yaitu judi kolektif seperti kasino, dll. Sementara jenis judi yang lain adalah jenis judi massal seperti togel, dll.
Judi kolektif tidak punya dampak secara langsung terhadap rakyat kecil, karena pemainnya dari kalangan orang kaya. Dan judi juga merupakan budaya sebagian masyarakat Tionghoa.
"Judi yang dilokalisasi adalah jenis judi ini, yaitu judi kolektif. Sementara judi massal targetnya harus diberantas dengan jalan merevisi KUHP 303, yaitu memperberat hukuman bagi bandar maupun pemain, agar ada efek jera," jelas dia.
Pajak dari lokalisasi judi, imbuhnya, hanya diperuntukkan membangun pusat rehabilitasi korban narkoba, pembinaan pelacuran, pemberantasan miras dan membayar utang negara yang selama ini sangat memberatkan.
"Sebagai tambahan, karyawan dan pengelola lokalisasi judi tidak boleh dari orang Islam," tegas Anton.
Dari 40 persen anggap sekitar 10 persen orang Indonesia, maka jumlah orang Indonesia main judi di Marina Bay sekitar 60 ribu orang. Jumlah uang yang keluar tinggal 60 ribu dikali US$ 3 ribu, maka jumlah uang yang keluar sekitar US$ 180 juta atau Rp 1,65 triliun.
"Ini baru satu tempat, bagaimana dengan tempat–tempat judi lain seperti di Malaysia, Hongkong, Australia, Las Vegas, dll. Berapa banyak orang Indonesia membuang uang keluar?" tandas Anton.
link
-----
Banyak Perut Masyarakat Kita yang Masih Lapar!
MotivatorNews – Masa lalu Anton Medan (54) yang akrab dengan kriminalitas mendorong pria keturunan Tionghoa ini menyusun buku kisah kelamnya. Pria yang diberi nama Tan Hok Liang oleh orangtuanya, lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, pada 10 Oktober 1957. Ia memberi judul bukunya “Anton Medan Menggugat”. Melalui bukunya itu dibeberkan bahwa bukan atas kehendaknya ia terjerumus dalam dunia kriminal.
Ia juga membuat usaha, yang menurutnya di tempat usahanya itu mempekerjakan mantan narapidana yang baru saja bebas dari penjara. Dengan demikian, Anton Medan hendak berbagi kepada mantan narapidana agar tidak lagi berbuat kriminal. “Hidup itu tidak hanya buat kita, tapi orang lain,” tandasnya.
Sering pemimpin kita menyerukan bahwa karakter bangsa perlu dibangun. Komentar Anda?
Karakter itu harusnya dibentuk sejak sekolah dasar. Itulah gunanya guru. Saat ini kita krisis karakter makanya mudah dijajah secara ekonomi maupun kedaulatan bangsa dan negara.
Sebagai pendidik, apa konsep Anda tentang kebangsaan?
Perbedaan etnis sebuah rahmat dari Tuhan. Ini harus kita hormati. Anda dari Batak, saya China, Anda Jawa. Kita tidak minta. Kita terima jadi sebagai anugerah Tuhan. Di antara mereka harus saling menghormati.
Jadi kebangsaan itu bukan pemaksaan kehendak?
Tidak boleh. Apalagi 85 persen masyarakat Indonesia beragama Islam, baik dan buruknya ada di kalangan muslim yang mayoritas. Kalau ada cacat, juga merusak wajah muslim di Indonesia. Kita lihat pelacur, pengemis, pemabuk, maling , rampok, koruptor. Hampir 70 persen Islam. Ini fakta.
Hal ini dikarenakan sebagian besar ulama kita perutnya masih lapar. Saya omong jujur saja. Mereka hanya bisa buka kitab. Tidak bisa buka cek. Nah itulah pemikiran saya, sehingga saya mau hidup bergaul dengan banyak kalangan dan masyarakat di semua lapisan.
Dalam buku Anda, Kira-kira pesan besar apa yang hendak disampaikan dari buku itu?
Hidup itu tidak hanya buat kita, tapi orang lain. Jadi kita tidak boleh ego. Agama apapun mengajarkan seperti itu. Jadi bagi siapa yang cerdas dan mampu dia harus menolong yang lemah. Banyak yang mengerti, tidak berani omong.
Kan kita bicara keadilan, seperti apa sih keadilan itu? Jadi saya ingin menyatakan bahwa hukum itu harus betul-betul jadi panglima, memberikan kesadaran, memberikan penyegaran. Lebih dari enam dekade kita sudah merdeka, tapi masih saja kita menggunakan undang-undang zaman kolonial. LP bukan lagi sebagai tempat pembinaan, tapi justru sering berubah menjadi sekolah kejahatan.
Begitu juga dengan undang-undang pidana yang masih digunakan adalah milik penjajah. Kita masih saja gunakan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang sudah usang. Misal Pasal 363 KUHP tentang pencurian malam dan ada pasal 362 tentang pencurian siang. Saya mencuri Rp 100.000 uang Anda. Lalu ada yang mencuri Rp 100 miliar. Ternyata tidak ada perbedaan dalam penjatuhan hukuman. Di mana nilai keadian? Di mana hati nurani para praktisi dan penegak hukum? Jadi yang dituntut adalah nilai keadilan.
Seperti apa potret masyarakat kita saat ini?
Masyarakat kita saya lihat apatis terhadap siapapun pemerintahnya. Ini yang saya katakan bahaya, kalau masyarakat sudah apatis. Kedua, partisipasi masyarakat semu. Ini karena mereka masih sulit untuk bertahan hidup. Mereka hanya menunggu waktu. Kapan ada waktu, ada kesempatan, maka jadilah kekacauan. Nah pada situasi itu, polisi harus didukung TNI.
Apakah revolusi bisa terjadi dengan karakter masyarakat kita yang pemaaf ?
Banyak perut masyarakat kita yang masih lapar! [**]
----
Fakta, Para Petugas LP Tak Berdaya Hadapi Napi
Bekas terpidana kasus pembunuhan dan perampokan, Anton Medan, bilang, masuknya narkoba ke lembaga pemasyarakatan berlangsung sejak 1970-an. Namun, para petugas LP tidak berdaya menghadapi modus operandi para napi.
"SEJAK dulu, semua petugas tahu. Tapi, mereka tidak berdaya, karena para narapidana lebih pintar dari petugas," ujar Anton kepada Rakyat Merdeka, ke-marin.
Anton yang pernah ditahan di 14 penjara, termasuk di LP Nusakambangan, menjelaskan, awalnya para napi memasukkannarkoba ke dalam tahanan karena ingin mengonsumsi bareng.
"Ganja, heroin, pil BK dan pil koplo, masuk bebas sejak dulu. Tapi, tidak dijual seperti sekarang. Mereka bekerja sama untuk memasukkan narkoba, kemudian dikonsumsi secara bersama-sama," ungkap pemilik nama Tan Hok Liang ini.
Berikut kutipan wawancara.
Menurut Anda, narkoba masuk LP terjadi sejak tahun 1970-an. Kenapa baru terbongkar dalam beberapa tahun terakhir?
Kenapa dulu tidak terbongkar? Karena, saat itu arus informasi masih terbatas dan akses masuk ke LP juga sangat sulit.
Bagaimana modus operandinya?
Modusnya macam-macam, mulai dari menyuap petugas hingga menggunakan teknik-teknik yang cukup cerdik. Contohnya, ada seorang terpidana di Nusakambangan yang pernah menyelundupkan barang lewat pemesanan televisi. Karena paket di dalam televisi tidak diperiksa secara baik oleh petugas, barang haram itu pun ikut masuk ke penjara.
Selain itu?
Saat saya di LP Cipinang, ada penghuni LP yang menggunakan burung dara untuk memasukkan narkoba. Dia melatih burung tersebut agar dapat keluar-masuk LP. Sehingga, pas dia di luar (bebas), dia leluasa menyelundupkan heroin ke dalam LP. Biasanya, barang haram itu diikat di perut atau sayap burung tersebut.
Bagaimana dengan praktik pungli atau penyuapan petugas?
Kalau itu, sudah terjadi sejak zaman kuda gigit besi. Kalau kita bicara pungli, di negara ini praktik tersebut sudah menjalar ke berbagai institusi. Kerena itu, saya sejak dulu menyarankan agar pemerintah melakukan pembinaan dan peningkatan kesejahteraan terhadap pegawai LP sehingga mereka menjadi orang yang terlatih, profesional dan terdidik dalam membina peng-huni LP.
Zaman sekarang, siapa yang paling sering menyelundupkan narkoba ke LP?
Saat ini, para pemain besar yang terlibat di sejumlah LP, termasuk di Nusakambangan, tak jauh dari bandar-bandar asing. Paling banyak dari kulit hitam, Nigeria, Nepal, dan sebagainya. Ini terjadi karena ada ruang dan kesempatan. Meski mereka sulit bergerak di negaranya sendiri, di negara ini mereka justru sangat leluasa.
Kenapa?
Karena petugas LP memberikan perlakukan yang berbeda terhadap napi asing. Napi asing bahkan lebih diperhatikan, mulai dari makanan hingga fasilitas sehingga aksi mereka semakin tak terbendung.
Menurut Anda, bagaimana mencegah dan menghilangkan peredaran narkoba di LP?
Sudah sering saya katakan, kalau penjahat itu pintar-pintar tapi nggak benar. Artinya, kualitas petuganya harus ditingkatkan, sehingga mereka dapat membedah kasus dan mencari solusi atas berbagai persoalan dirumah tahanan.
Saya sudah sampaikan hal ini kepada Dirjen, bahkan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Tapi, mereka selalu beralasan masalah anggaran.