Quote:Apa yg terbayang pada otak kita saat berpikir tentang Badut. Make up berlebihan, pakaian warna-warni yg mencolok, hidung tomat merah, atau pakaian yg menyerupai tokoh kartun? Tapi yg pasti, kehadiranya diharapkan membawa kelucuan dan keriangan tawa anak-anak, bukan untuk menakut-nakuti. Tapi tidak demikian dengan putri sulung saya yg berusia 3 tahun, aulia. Baginya, melihat badut adalah melihat hal yang mengerikan yang membuatnya berteriak kencang, berlari menghindar dan ketakutan. Sungguh saya miris melihatnya. Seingat saya, tidak pernah rasanya memberikan cerita yg buruk tentang badut. Bahkan di buku cerita yang sering saya bacakan, ada gambar atau cerita yang terkait badut, dan ketika saya membacakannya tidak pernah keluar reaksi yang negative. Tapi jika bertemu langsung, maka hanya satu kata : lari !
Quote:Saya coba mengingat, pertemuan pertama putri saya dengan badut. Kalo tidak salah, saat usianya 1,5 tahun saya pernah mengajaknya ke sebuah taman bermain di Yogya. Waktu itu aulia saya gendong, dan tiba2 tanganya ditepuk dari belakang. Seketika kami menoleh, ternyata seorang badut berpakaian panda menyapa dan bertanya apa mau berfoto bersama. Mungkin karena ada efek terkejut, aulia kaget dan menangis ketakutan. Lalu saya menyingkir dan mencoba menghiburnya kalo itu tadi temen yang baik, Cuma mau ngajak berfoto. Akhirnya memang aulia diam.
Pertemuan selanjutnya dengan badut, ketika usianya 2.5 tahun di sebuah pesta ulang tahun teman kantor saya. Berangkat dari rumah, aulia sudah semangat akan memberikan kado yang ia bungkus sendiri. Ketika tiba di depan rumah teman, ternyata para tamu disambut oleh badut berpakaian upin ipin dan barney. Seketika dia berontak menangis dan mengajak pulang. Saya bujuk perlahan bahwa itu sama dengan yg ia liat di tv (karena memang dia sering nonton barney). Aulia mau masuk tapi berpegangan erat pada tangan saya. Sampai di depan 2 badut itu saya meminta si badut untuk melepaskan topengnya agar aulia bisa melihat bahwa di balik topeng barney itu ya… Cuma orang biasa. Ketika melihat si mas melepas topeng, seketika ketakutan aulia hilang dan berbaur dengan teman2 lainya di dalam rumah. Tapi, saat acara di mulai, ternyata dipandu oleh badut tersebut, aulia berlari kencang ke belakang rumah, saat badut beraksi lengkap dengan kostumnya. Saya ajak dia untuk pulang tapi entah kenapa aulia menolak, jadi sepanjang acara ulang tahun itu, kami berada di halaman belakang sampai acara selesai.
Pertemuan terbaru dengan badut adalah 2 minggu yg lalu, di toko buku di sebuah mall di semarang. Saat akan memasuki toko buku, lagi2 ada badut berkostum panda. Saya tidak terlalu menyadari keberadaannya, sampai aulia berteriak dan berlari kencang keluar di selasar mall. Saya reflek mengejarnya, takut dia berlari terlalu jauh dan hilang di kerumunan banyak orang. Waktu itu dia memang tidak menangis, hanya berlari terus, untung saya bisa mengejarnya, dan akhirnya kami langsung pulang.
Quote:Saya jadi berpikir serius dan khawatir rasa takut pada badut ini akan berkepanjangan, ketika saya membaca 2 topik yg sama tentang badut, di detik dan yahoo. Coulrophobia merupakan fobia atau rasa takut terhadap badut, yang kebanyakan diakibatkan trauma pada masa kecil, yang dialami tidak hanya oleh anak kecil tapi juga orang dewasa. Harus diatasi dengan serius karena bisa menimbulkan gangunguan kejiwaan di masa mendatang. Ah apa bener sampe segitunya sih, batin saya tak terima. Sayangnya di artikel tsb tidak dibahas cara mengatasinya.
Hasil browsing sana-sini saya dapatkan beberapa tips untuk mengatasi rasa takut balita pada badut
Quote:Ini solusinya
Spoilerfor Solusi:
1.Beri
Pengantar, ketika akan mengunjungi suatu tempat yang sudah tahu akan
ada badutnya, ada baiknya kita member tahu terlebih dahulu di rumah,
bahwa anak tak perlu takut, bahwa bunda nya akan selalu bersamanya dan
om badut itu adalah orang dewasa seperti bunda.
2. Lebih Mengenal, yaitu meminta badut melepaskan topeng kostumnya, agar anak melihat wajah aslinya. Tapi ini hanya bisa dilakukan jika si badut berkostum karekter, jika dia memakai make up tebal, tentu kita tidak mungkin memintanya menghapus riasanya kan?
3. Pahami dan terimalah perasaannya. Anak yang mengalami trauma, sangat tersiksa saat bertemu dengan objek yang ditakutinya. Berilah empati kepadanya dan meminta dia mengungkapkan perasaannya. “Adik takut ya? Tenang, Mama akan menemanimu. Kita lihat dari sini saja, ya. Dia hanya ingin menghibur orang-orang. Jadi tidak perlu takut.”
"Tips ini lumayan berhasil meredakan rasa takut anak saya"
4. Dekatkan. Membantu anak dengan menjauhkannya dari badut merupakan cara penanganan sementara. Karena di lain kesempatan, pasti dia akan bertemu dengan badut lagi. Jadi, kita perlu melatih anak untuk berani menghadapi kenyataan untuk bertemu badut, dengan melakukan pembiasaan. Tentu saja diperlukan waktu yang tidak pendek dan kesabaran orang tua. “Dekatkan” anak dengan melakukan pengamatan dari jauh terlebih dahulu. Tunjukkan pada anak sifat positif badut. “Lihat dik, disana ada badut yang baik. Dia sedang membagikan balon pada anak-anak. Adik mau balon nggak?”
5. Tidak memberi informasi yang sesat. Jangan membuat karakter badut menjadi negatif bagi anak dengan mengatakan, “Ayo cepat makan, kalau tidak, Mama panggilkan badut!” atau “Ayo pulang, nanti kamu diculik badut!”. Informasi seperti ini menanamkan pengertian pada anak bahwa badut adalah tokoh yang jahat.
6. Jangan melecehkannya. Anak sangat tersiksa dengan perasaannya sendiri saat bertemu badut. Jadi, jangan ditambahi lagi dengan komentar-komentar yang melecehkan seperti, “ Dasar penakut. Masa, ketemu badut saja, lari.
7. Berikan pujian. Berilah penghargaan di setiap kemajuannya, walau baru sedikit saja. Saat dia sudah berani melihat dari kejauhan, katakan, “Wah, adik hebat. Sudah berani lihat badut. Yuk, kita berikan salam dari sini, daag…dadaaag!”.
8. Karang cerita, Anda dapat mengarang cerita tentang bagaimana badut bersahabat dengan anak kecil. Atau bagaimana seorang anak yang tadinya takut badut, akhirnya tidak takut lagi karena kebaikan-kebaikan si badut.
9. Beri pelukan, Anak dapat mengatasi rasa takutnya jika melihat respon orangtuanya. Oleh sebab itu, reaksi orangtua tidak boleh berlebihan. Peluk saja anak dengan lembut dan katakan bahwa Anda mengerti akan ketakutannya. Lebih baik lagi jika sebelum mempertemukannya secara langsung, anak diperlihatkan dulu aktivitas si badut dari jauh.
10. Beri contoh, Jangan coba menyuruh anak menghilangkan rasa takutnya dengan kata-kata. Tindakan atau contoh nyata lebih baik, misalnya dengan mengajak badut bersalaman, atau cobalah bercanda dengan badut. Dengan melihat bahwa orangtuanya tidak takut, anak akan berhasil mengatasi ketakutannya sendiri.
11. Jangan memaksa, Setelah berbagai cara dilakukan, mungkin si anak belum berani bersalaman atau berinteraksi langsung dengan badut. Biarkan saja, jangan terlalu memaksa. Setidaknya ia tak lagi menjerit dan menangis ketika bertemu dengan badut
2. Lebih Mengenal, yaitu meminta badut melepaskan topeng kostumnya, agar anak melihat wajah aslinya. Tapi ini hanya bisa dilakukan jika si badut berkostum karekter, jika dia memakai make up tebal, tentu kita tidak mungkin memintanya menghapus riasanya kan?
3. Pahami dan terimalah perasaannya. Anak yang mengalami trauma, sangat tersiksa saat bertemu dengan objek yang ditakutinya. Berilah empati kepadanya dan meminta dia mengungkapkan perasaannya. “Adik takut ya? Tenang, Mama akan menemanimu. Kita lihat dari sini saja, ya. Dia hanya ingin menghibur orang-orang. Jadi tidak perlu takut.”
"Tips ini lumayan berhasil meredakan rasa takut anak saya"
4. Dekatkan. Membantu anak dengan menjauhkannya dari badut merupakan cara penanganan sementara. Karena di lain kesempatan, pasti dia akan bertemu dengan badut lagi. Jadi, kita perlu melatih anak untuk berani menghadapi kenyataan untuk bertemu badut, dengan melakukan pembiasaan. Tentu saja diperlukan waktu yang tidak pendek dan kesabaran orang tua. “Dekatkan” anak dengan melakukan pengamatan dari jauh terlebih dahulu. Tunjukkan pada anak sifat positif badut. “Lihat dik, disana ada badut yang baik. Dia sedang membagikan balon pada anak-anak. Adik mau balon nggak?”
5. Tidak memberi informasi yang sesat. Jangan membuat karakter badut menjadi negatif bagi anak dengan mengatakan, “Ayo cepat makan, kalau tidak, Mama panggilkan badut!” atau “Ayo pulang, nanti kamu diculik badut!”. Informasi seperti ini menanamkan pengertian pada anak bahwa badut adalah tokoh yang jahat.
6. Jangan melecehkannya. Anak sangat tersiksa dengan perasaannya sendiri saat bertemu badut. Jadi, jangan ditambahi lagi dengan komentar-komentar yang melecehkan seperti, “ Dasar penakut. Masa, ketemu badut saja, lari.
7. Berikan pujian. Berilah penghargaan di setiap kemajuannya, walau baru sedikit saja. Saat dia sudah berani melihat dari kejauhan, katakan, “Wah, adik hebat. Sudah berani lihat badut. Yuk, kita berikan salam dari sini, daag…dadaaag!”.
8. Karang cerita, Anda dapat mengarang cerita tentang bagaimana badut bersahabat dengan anak kecil. Atau bagaimana seorang anak yang tadinya takut badut, akhirnya tidak takut lagi karena kebaikan-kebaikan si badut.
9. Beri pelukan, Anak dapat mengatasi rasa takutnya jika melihat respon orangtuanya. Oleh sebab itu, reaksi orangtua tidak boleh berlebihan. Peluk saja anak dengan lembut dan katakan bahwa Anda mengerti akan ketakutannya. Lebih baik lagi jika sebelum mempertemukannya secara langsung, anak diperlihatkan dulu aktivitas si badut dari jauh.
10. Beri contoh, Jangan coba menyuruh anak menghilangkan rasa takutnya dengan kata-kata. Tindakan atau contoh nyata lebih baik, misalnya dengan mengajak badut bersalaman, atau cobalah bercanda dengan badut. Dengan melihat bahwa orangtuanya tidak takut, anak akan berhasil mengatasi ketakutannya sendiri.
11. Jangan memaksa, Setelah berbagai cara dilakukan, mungkin si anak belum berani bersalaman atau berinteraksi langsung dengan badut. Biarkan saja, jangan terlalu memaksa. Setidaknya ia tak lagi menjerit dan menangis ketika bertemu dengan badut
Quote:"Semoga tips2 di atas bisa membantu saya mengatasi rasa takut putri saya terhadap badut. Saya berdoa sih semoga ketakutannya masih dalam skala wajar untuk anak usia 3 tahun dan akan hilang dengan sendirinya seiring bertambahnya usia, tapi tidak ada salahnya kita beri perhatian yg lebih, dan mengatasainya sejak dini, daripada di kemudian hari menjadi masalah yang serius."