PENUTURAN DEBT COLLECTOR
Semoga tidak ada orang Indonesia yang mau menjadi debt collector dan “tidak ada” penegak hukum di Indonesia yang mau membekingi perusahaan debt collector atau yang berkedok sebagai perusahaan mediator. Lebih mulia para pedagang asongan dan kaki lima.
10 juta/bulan??
bisa kali y,,,gua kerja sbgai inhouse collection credit card di salah satu bank asing, starting salarinya sih cuman 1 juta, but insentifnya klo achieve bisa berlipat lipat,bulan kemaren gua dapet 3,5 juta n untuk bulan depan kayaknya 6 juta dapet deh, dan temenku 1 unit kmren ada yang dapet 13,5 juta…mw cari kerjaan yang laen, ip pas2an, padahal background accounting..beberapa kali tes auditor di jakarta gagal terus, kpmg, bank syariah mandiri, n mt nya hsbc pun gagal…capek bolak2 jakarta…
klo di inhouse collection yang utama bukan tega, tapi negotiation skill… dan kita yang paling berperan dalam menurunkan kredit bermasalah bank…for your info, vice president collection di tempat saya kerja gajinya 200 juta sebulan…(masih mau nyela collection???)
Jadi kolektor itu enak kog..
Gw kolektor di Riau, daerah tagihan gw daerah perkampungan sawit yang notabene ‘wong ndeso’ .. kerjaan gw ne :
1. Awal bulan 1-5 : Datang pagi, check lock, kelapangan, cuci motor, maen PS, warnet , terserah gw,…. Sore setor muka , check lock dan pulang dan tiduuurr
2. tgl 06-10 : Setelah dapat DKH (Daftar Kunjungan Harian = buku dosa kredit macet perbulan) . Gw cari semua konsumen macet. kasih SP (Surat Peringatan) pertama. Paling 3 hari semua kelar.. trus tiduuuuurr
3. Tengah Bulan 11-20 : Gw liat pergerakan konsumen. pada bayar nggak ?.. Kalo ada yang belum, kasi surat cinta lg (heheh). PAling 2 hari kelar dan tidur lagiii….
4. Akhir bulan 21-30 : Yang belumbayar makin dikit. Gw SP lagi.. sambil bilang : bulan ini kalo nggak bs bayar saya nggak bisa bantu ke kantor lagi. Ada pihak berwenang yang bakal lebih tegas dr gw .. paling gw banyak gerak tgl 25 keatas sampe tutup bulan.
Jadi paling 10 hari gw serius ngunjungi ke rumah. Kalo gw narget Rp.4.000.000, nggak kemana
Heheheeh,… Hidup colector
dedi Gumilar Sabtu, 5 Juni 2010
saya adalah seorang Debt Collector. saya mencari kerja susah, makanya jadi dc. penghasilan saya hanya dari prestasi keberhasilan menagih. jika dari seseorang saya berhasil menagih sejumlah uang makan saya memperoleh 20%nya, sisanya untuk perusahaan. perusahaan membeli tagihan dari Bank atau penyelenggara kartu kredit. beli kredit macet, tagihan macet. setahu saya bank telah menghapus buku tagihan macet ini, namun tidak hapus tagih. Mhn maaf memang ada kawan yg berlaku kasar, karena mereka juga dikata-katai kasar oleh bossnya. badan gede nagih aja ga dapet, dan makian kasar lainnya. belum lagi tuntutan dapur. Jadi HARUS dapet, apapun caranya.
Sony Kamis, 1 Juli 2010
Saya bekerja sebagai Collector di sebuah perusahaan swasta. Sejauh pengalaman yang saya temui di lapangan, sebagaian besar nasabah tidak membaca Surat Perjanjian dengan seksama. Nasabah lebih mementingkan menerima uangnya dari pada perjanjian. Sehingga ketika cicilannya nunggak, nasabah protes dengan denda yang haru dibayarkan, padahal dalam perjanjian sudah jelas di muat tentang denda dan nasabah sudah tanda tangan di samping angka denda. Selama ini saya mencoba untuk lebih mengutamakan hati ke hati agar permasalahan dapat teratasi dan target dapat terpenuhi. Kalau nasabah tidak mau bekerja sama, maka saya dimaki2 oleh atasan, bahkan resiko di PECAT. Lalu mau makan apa keluarga saya nantinya. Mohon kepada nasabah agar tertib dan kooperatif, karena dengan berani mengajukan kredit, tentunya sudah diperhitungkan resiko yang akan dihadapi. sekian terima kasih
KESIMPULAN:
Perusahaan membeli tagihan macet dari penyelenggara kartu kredit yang sudah dihapus bukukan, namun tidak dihapus tagihkan. Kalau benar demikian bank telah melakukan tindak kejahatan perbankan. Karena tidak mengindahkan Peraturan BI. Patut diduga terjadi “rekayasa keuangan” disini
Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas moneter di Indonesia pun menyoroti hal itu dengan dibuatnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). Tercatat pada tahun 2005 PBI sudah memberikan aturan main yang harus dipatuhi oleh bank. Yang kemudian diperbarui melalui PBI No.11/11/2009 yang ditandatangani (wapres saat ini) Boediono maupun SEBI No. 11/10/DASP kedua-duanya tertanggal 13 April 2009. Dimana kedua peraturan tersebut mensyaratkan kepada bank untuk segera melakukan penyesuaian dan mematuhi perudang-undangan yang berlaku.
Sayangnya hingga Januari 2011, bank terlihat belum menyesuaikan bahkan mematuhi aturan main yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia. Padahal ancaman hukumannya tidak main-main berupa penutupan izin usaha kartu kredit.
Hal ini bisa terus berlangsung karena selain nilai TRANSAKSI nya sangat menggiurkan, selain ditunjang factor kurang pahamnya masyarakat serta kebingungan masyarakat harus mengadu kepada siapa. Karena selalu saja sebagai PENGHUTANG posisinya selalu dipersalahkan. Termasuk oleh pihak Kepolisian sendiri.
BANK TIDAK RUGI!
Bank tidak pernah merugi. Dari bunga yg mereka bebankan saja sudah luarbiasa. Tiap bulan sekitar 2,5-4%. Setahun bisa mencapai 48%. Bandingkan dengan bunga deposito yg paling banter hanya 7% per tahun. Belum lagi adanya annual fee, over limit charge, denda keterlambatan, dll. Dan dengan sistem minimum payment, nasabah dikondisikan tetap menjadi pengutang seumur hidup karena hutangnya tidak bisa lunas-lunas.
Sebagai ilustrasi, pada 1994, Citicorp mendapatkan keuntungan US$ 4,5 miliar dari bunga saja. Tapi yang diekspos di media massa justru keluhan bank penyelenggara yang tergabung dalam Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) atas tunggakan tagihan kartu kredit. Hal ini merupakan informasi yang tidak seimbang.
Direktur Central for Banking Crisis (CBQ), Deni Daniri, mengatakan sektor konsumsi menjadi andalah perbankan untuk menyerap pertumbuhan kredit “Pasar kartu kredit masih bagus dan melalui cara ini bank menyerap kreditnya ketimbang untuk sektor ril,” katanya.
Tingginya risiko kartu kredit bagi sektor perbankan tidak menjadi sesuatu yang dipermasalahkan karena koleksinya lebih mudah dibandingkan dengan sektor properti atau manufaktur.
Ketua AKKI, Dodit membantah, jika pasar kartu kredit di Indonesia masuk dalam risiko besar kredit macet bagi industri perbankan. “Saat ini kartu kredit Indonesia masih aman dan belum masuk high risk bila dibandingkan dengan negara tetangga, karena out-sandingnya masih kecil berkisar 8% dari kredit konsumen,” katanya.
Dodit menuturkan, NPL untuk kartu kredit harus dilihat sebagai sesuatu yang unik. Pasalnya, kartu kredit sebagai kredit tanpa agunan dinilai relatif lebihtinggi pertumbuhannya dibandingkan kredit perumahan, kendaraan bermotor atau yang lainnya, namun juga karena intent ratenya jauh diatas kredit dengan agunan. Sebab itu dia mengingatkan high risk high return menjadi filosofinya.
KESIMPULAN:
Bank tidak pernah rugi, yang diekspos di media massa justru keluhan bank penyelenggara atas tunggakan tagihan kartu kredit. Kredit macet kartu kredit Indonesia masih aman dan belum masuk high risk. Out-sandingnya masih berkisar 8% Hal ini merupakan informasi yang tidak seimbang. Kalau rugi mengapa tidak tutup saja usaha itu!
Adalah oknum bank bagian kartu kredit yang menyerahkan atau bahkan melelang tagihan hutang kartu kredit macet itu ke pihak ketiga atau debt collector untuk ditagihkan kepada pemegang kartu kredit yang macet.
Jadi selama ini rakyat dihisap oleh praktek bisnis ilegal seperti ini yang memanfaatkan ketidaktahuan nasabah dan penyembunyian klausul penggantian asuransi hutang kartu kredit. Debt collector ini sebenarnya menagih hutang yang sudah dilunasi oleh asuransi visa master. Jadi uang yang didapat dari masyarakat dipakai sendiri oleh oknum bank dan debt collector dengan mengatasnamakan pihak bank.
Neraca berdasarkan data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) hingga akhir Mei 2010 pemegang kartu kredit mencapai 12,6 juta orang. Sementara total pembelanjaan dari kartu kredit (KK) di seluruh nasional mencapai Rp 146 triliun. “Nilai transaksi ini dalam 3-4 tahun terakhir ini meningkat sekitar 30%,” ujar Ketua AKKI Dodit W. Probojakti kepada Neraca di Jakarta, (29/6/2010)
Berdasarkan data BI, rasio kredit macet kartu kredit mencapai rasio masih dibawah 10 persen atau senilai Rp 1,4 triliun. Data terkini bisa dimintakan ke BI
KESIMPULAN:
Ada bisnis gemuk senilai Rp 1,4 triliun/tahun yang “dimainkan” oleh aktor intelektual yang merupakan “oknum perbankan”. Mereka bekerja dengan suatu organisasi yang rapi dan secara formal organisasi itu legal. Dalam melaksanakan pekerjaannya mereka menggunakan cara-cara preman bahkan lebih “kejam”dari preman tingkat bawah karena mereka merasa “legal”. Misalnya adalah Agency Debt Collector yang disewa oleh Perbankan untuk menagih hutang nasabah yang macet dengan cara-cara TEROR yang tidak manusiawi
Bagi bank, hapus buku artinya tambahan biaya, karena harus menyisihkan dana cadangan atau provisi.
Lalu, bagaimana dengan asuransi yang biasa disebut credit shield? Bukankah seharusnya asuransi meng-cover tagihan yang macet itu?
Memang credit shield bisa mengambil alih tagihan kita. Tapi, hal itu hanya berlaku bagi nasabah yang kondisinya tidak memungkinkan untuk membayar sesuai persyaratan pihak asuransi. Seperti sakit parah, cacat sementara atau permanen, dan kematian. Atau dengan kata lain, nasabah tidak memiliki kemampuan lagi untuk menghasilkan pendapatan.
Menurut sumber yang dapat dipercaya ada klausul yang sengaja disembunyikan pihak bank atas adanya asuransi kredit yang sudah dilakukan oleh visa / master. Ada yang mengatakan, sebenarnya asuransi hanya membayar 60 persen-70 persen dari total tagihan. Sisanya tetap menjadi beban bank.
Tapi, yang namanya bank selalu berupaya mencari untung segede-gedenya. Meskipun asuransi sudah menjamin penggantian uang tersebut, mereka masih mencoba sekuat tenaga agar uang yang di nasabah kembali juga. Artinya, mereka mendapatkan 2 kali pembayaran: dari nasabah dan asuransi. Makanya tidak heran, bila ada nasabah yang kesulitan membayar, dan setelah didatangi debt collector juga masih sulit bayar, maka bank secara “bijaksana” menawarkan program penjadwalan baru, sehingga nominalnya tidak memberatkan. Atau bila tidak berhasil juga, mereka “berbelas kasih” dengan memotong total tagihan hingga 50% atau lebih.
Bisa juga tidak diganti oleh pihak asuransi, tapi bank telah menjual hak tagihnya ke pihak ketiga atau istilah hukumnya factoring. Jadi, yang menagih bisa jadi bukan pihak bank langsung, tapi pihak ketiga yang telah membeli hak tagih dari bank. Nah, pihak inilah yang berkepentingan dengan duit kita.
KESIMPULAN:
Pada dasarnya Hutang Piutang adalah Perjanjian Perdata, jadi menyelesaikannya melalui jalur Perdata dengan melayangkan Gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri, dijamin mereka ogah kalau hutangnya kecil. Atau laporkan saja card holder ke kepolisian dan minta pihak kepolisian menyelesaikannya. Mengapa bank justru memilih menggunakan debt collector? Ada apa ini?
Soal debt collector (outsourcing) atau bukan adalah sepenuhnya keputusan manajemen penerbit kartu. Oleh sebab itu, SEBI No 11/10/DASP tahun 2009 mewajibkan penerbit kartu harus dapat menjamin debt collector yang dikontrak dapat bekerja menagih utang sebagaimana cara-cara penerbit kartu. Dilarang outsourcing itu berbuat tidak benar, semisal menggunakan cara-cara yang ngawur seperti merendahkan, melecehkan bahkan kadang mendekati kriminal.
BI selama ini tidak pernah mengeluarkan regulasi tentang debt collector dalam hal penyelesaian masalah antara penerbit dengan pengguna kartu kredit. Alasannya, kalau hal itu diatur oleh BI justru akan melegalkan kegiatan debt collector
KESIMPULAN:
Sadar bila biaya collecting mahal, bank dengan licik mengkaryakan orang yang membutuhkan pekerjaan (debt collector). Debt collector akan mendapatkan successful fee sebesar 20% dari yang tertagih. Dalam hal ini “oknum bank” tidak mau tangannya kotor dengan ulah debt collector, namun ingin menikmati uang penghapusbukuan.
Jika bank ber-alibi, bahwa kredit macetnya tidak diganti oleh pihak asuransi, tapi bank telah menjual hak tagihnya ke pihak ketiga atau istilah hukumnya Cessie. Patut dipertanyakan dasar kriteria penunjukkan debt collector.
Apabila memang tagihan sudah dibeli, ada persyaratan tertentu untuk perusahaan yang dapat membeli tagihan (bukan PT PT-an). Tambahan, bila sudah dibeli mengapa koq dananya harus disetorkan ke pihak bank? Karena sejatinya pihak bank dan pihak ketiga ini (debt collector) sudah tidak ada hubungannya lagi setelah terjadinya penjualan data para bad debt ini.
Disinyalir bahwa pihak ketiga tidak “menyuntikkan” dana kepada pihak bank sebagai tanda pembelian, namun pihak ketiga diberi “fasilitas hutangan” terlebih dahulu oleh bank. Kuat dugaan ada praktek “bank dalam bank”. Sebab untuk mendapatkan fasilitas tadi bukanlah sesuatu yang mudah bagi dunia perbankan.
Jika dikatakan bahwa pihak bank tidak tahu menahu tentang perusahaan debt collector ini, maka ini adalah sebuah kebohongan. Karena perusahaan debt collector tidak akan bekerja dan bergerak jika tidak mendapat data para nasabah kartu kredit yang bermasalah.
Jadi dapat dikatakan ada sebuah perjanjian tidak tertulis untuk saling menutupi peran masing-masing. Sehingga pihak bank dapat cuci tangan dalam masalah ini. bank juga ingin lepas tangan jika terjadi tindak pidana kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut yang sering terjadi dilapangan.
KESIMPULAN:
Ada aktor intelektual dibelakangnya. Karena jika kita lihat lagi adanya data para nasabah kartu kredit bermasalah yang lari ke perusahaan-perusahaan debt collector dapat menunjukan adanya unsur “turut mendukung aksi premanisme debt collector dan corporate crime yang dilakukan oleh pihak bank” baik sengaja atau sembunyi-sembunyi.
MEDIASI PERBANKAN
Pembentukan lembaga mediasi perbankan independen hingga kini tak kunjung terwujud. Padahal Bank Indonesia (BI) menargetkan pembentukan lembaga ini paling lambat Desember 2007. Bank sentral itu lantas membuat peraturan baru, yakni PBI No. 10/1/PBI/2008. Sebelumnya aturan mengenai mediasi perbankan diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006. Dalam Pasal 3 ayat (4) PBI 10/2008 disebutkan sepanjang lembaga mediasi perbankan independen belum terbentuk, fungsi mediasi perbankan tetap dilaksanakan oleh BI.
BI sendiri sebenarnya sudah berulangkali mendesak sejumlah asosiasi perbankan untuk segera membentuk lembaga mediasi. Namun desakan itu tak kunjung dikabulkan. Tugas BI yang sebenarnya adalah menjaga stabilitas moneter.
Jika fungsi mediasi dipegang oleh BI atau PERBANAS, maka rawan terjadi conflict of interest. Berbeda jika dilakukan oleh lembaga independen.
KESIMPULAN:
Mengapa sejak 2007 hingga kini belum juga dibentuk lembaga mediasi perbankan independent?. Apakah karena ada bisnis terselubung yang harus diamankan senilai triliunan rupiah setiap tahunnya?
BANK UOB DIGUGAT NASABAH SEBESAR 10 MILIAR
Nasabah Bank UOB menggugat bank tersebut sebesar 10 miliar rupiah karena debt collector bank UOB melakukan penganiayaan fisik terhadap klien kartu kredit hingga mengalami cidera parah. Sebaiknya semua klien kartu kredit yang mengalami kekerasan fisik oleh debt collector dan para perempuan yang dilecehkan secara seksual oleh debt collector, mengajukan gugatan kepada pihak bank yang bersangkutan dimana debt collector tsb melakukan tindak pidana. Ini saatnya rakyat/nasabah menyadari haknya dimata hukum, dimana bank dan debt coll tidak boleh semena2 terhadap klien yang sedang mengalami kesempitan. Untuk menggugat, anda dapat meminta bantuan pengacara/lawyer.
Sebenarnya tidak sulit bagi kepolisian untuk menangkap pelaku kejahatan debt collector karena lingkup orang-orang debt collector adalah orang yang itu2 juga dan dapat dilacak dari kelompok2 debt collector yang ada. Dan polisi Indonesia juga sudah canggih, pasti sudah memiliki database mereka. Mudah2an kepolisian wilayah bandung dapat segera menangkap para pelaku dan menindak tegas.
Sebenarnya tidak sulit bagi kepolisian untuk menangkap pelaku kejahatan debt collector karena lingkup orang-orang debt collector adalah orang yang itu2 juga dan dapat dilacak dari kelompok2 debt collector yang ada. Dan polisi Indonesia juga sudah canggih, pasti sudah memiliki database mereka. Mudah2an kepolisian wilayah bandung dapat segera menangkap para pelaku dan menindak tegas.
Pengadilan selanjutnya dari kasus Muji Harjo akan diadakan pada tanggal 9 Maret 2011 jam 10 pagi di pengadilan negeri Bandung, Jalan R.E. Martadinata 74-80 Bandung. Kita lihat keputusan hakimnya.
Pada sidang kedua tanggal 9 Maret 2011 ternyata pihak bank UOB juga tidak datang lagi, Sehingga sidang diadakan kembali pada tanggal 23 Maret 2011. Klien Muji Harjo telah mempersiapkan hasil visum et repertum dari pihak RS (dalam kriminologi termasuk kedokteran forensik), hasil investigasi Polisi dan surat Pengakuan bank pada polisi yang menyatakan bahwa PT. Goti Wai Sarut memang debt col dari bank UOB dan pelaku tindak pidana memang bekerja untuk PT tersebut dan bank UOB. Masalahnya adalah perwakilan bank UOB tidak hadir pada 2 kali sidang di pengadilan negeri Bandung. Pelaku tindak pidana juga masih "belum" tertangkap.