VIVAnews - Penggunaan jasa pihak ketiga untuk menagih kredit macet (debt collector) menjadi sorotan paska tewasnya nasabah Citibank, Irzen Octa. Banyak pihak termasuk kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar Bank Indonesia (BI) melarang penggunaan debt collector oleh pihak di luar bank.
Penggunaan debt collector adalah hal biasa bagi perbankan, karena memang diatur dalam peraturan BI. Surat Edaran (SE) No.11/10 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) di antaranya mengatur tentang penggunaan jasa penagih itu.
Penggunaan jasa penagih hanya dapat dilakukan jika tunggakan kartu kredit telah tergolong kategori "diragukan atau macet". Agen penagih juga dilarang melakukan cara-cara yang melanggar hukum.
Masing-masing bank mempunyai istilah atau sebutan tersendiri untuk jasa penagih. Seperti misalnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang menggunakan istilah field collector. Tugasnya tidak untuk menagih, namun mencari alamat pemegang kartu kredit yang macet.
Menurut Sekretaris Perusahaan BRI, Muhamad Ali, BRI menagih tagihan jika nasabah tidak membayar kewajibannya selama 120 hari atau empat bulan. Jangka waktu itu dianggap default oleh BRI. Biasanya, nasabah tiba-tiba sulit untuk dihubungi. Dengan demikian bank penerbit kartu kredit kehilangan kontak.
Untuk itu, dia melanjutkan, BRI baru meminta field collector untuk mencari alamat nasabah tersebut dan mendatangi. Tugasnya, meminta nasabah untuk datang ke kantor BRI. Namun, mereka tidak berhak menagih utang, karena kewenangan itu ada di BRI.
"Yang mempunyai otoritas menagih utang adalah pegawai BRI, karena di situ bisa diberi keringanan atau negosiasi," ujarnya.
Penggunaan jasa pihak ketiga itu memang membantu untuk menghubungi nasabah, karena keterbatasan tenaga BRI. Ali menambahkan, BRI memprioritaskan penagihan kartu kredit melalui telepon oleh pegawai BRI. Penggunaan field collector merupakan alternatif terakhir jika nasabah tidak bisa dihubungi. (art)