Laman

Friday, April 5, 2013

Inilah Penemu Terapi Cuci Otak

Sesuatu yang baru, biasanya akan memicu kontroversi. Memang begitulah di indonesia dimana masyarakatnya jika ada suatu metode yang baru tentang apa saja dan menjadi heboh biasanya akan muncul juga kontroversi-kontroversi atau orang-orang yang tidak setuju entah dengan alasan tidak ilmiah ataupun yang merasa rejekinya terganggu oleh penemuan tersebut.

Belakangan dunia kesehatan dihebohkan oleh terapi otak sebagai metode untuk menangkal stroke. Metode Brain Washing made in Indonesia ini banyak menuai kontroversi karena memang belum terbukti secara ilmiah namun sudah diklaim sebagai terapi mujarab untuk menyembuhkan stroke.

Brain washing atau 'cuci otak' merupakan istilah populer yang sering digunakan orang awam untuk menyebut suatu tindakan yang dapat mengubah pikiran atau persepsi seseorang. Namun di Indonesia, istilah "cuci otak" malah digunakan untuk mempromosikan sebuah pengobatan stroke. Sontak, promosi yang sangat gencar ini pun menuai banyak kontroversi, termasuk dari kalangan dokter saraf.

Promosi terapi cuci otak ibarat memberi angin segar bagi banyak pasien stroke. Bagaimana tidak, terapi baru ini diklaim sangat mujarab mengobati stroke. Semua kerak otak bisa dicuci bersih, membuat otak segar bugar, tak peduli berapa tahun seseorang menderita stroke. Inilah satu-satunya metode terapi cuci otak di dunia yang ditemukan oleh dokter indonesia.


Quote:Profil Dokter Terawan

Dokter Terawan Agus Putranto Sp Rad (K) RI, yang juga seorang tentara ini berpangkat Letkol CKM, bertugas di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto yang juga di Rumah Sakit Gading Pluit.

Sebelum menjadi dokter, ia seorang tentara. Ia mendapat beasiswa untuk mengikuti pendidikan kedokteran di FK Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kelahiran Citi Sewu (utara Stasiun Tugu) Yogyakarta 5 Agustus 1964 ini, sejak kecil memang ingin sekali menjadi dokter.

Lusus dokter tahun 1990 ia ditugaskan Bali, kemudian Lombok dan terakhir Jakarta. Ia kemudian mengambil spesialis radiologi di Surabaya. "Waktu itu, saya melihat radiologi kurang berkembang. Saya terketuk untuk mengembangkan radiologi intervensi," ujarnya.

Radiologi intervensi adalah bidang kedokteran yang mempergunakan alat imaging untuk membantu memasukkan alat ke tubuh pasien, melalui lubang alamiah atau buatan untuk penanganan kasus pembuluh darah, syaraf dan tumor. Itu sebabnya, dr. Terawan dijuluki The Rising Star Radiologi Intervensi di Indonesia.

Dalam setahun, ia menangani 500 pasien berbagai kasus. Ia yakin, ilmu yang dimilikinya bisa menjadi alteratif untuk kasus-kasus emergency. "Kita tidak kalah hebat dengan negara di Eropa dalam bidang ini. Bahkan kita lebih unggul dibanding Singapura," ujarnya.

Ia terkesan ketika menangani pasien wanita dengan kasus kanker di leher dan kepala. Setelah diterapi, pasien tersebut satu bulan kemudian hamil. "Berarti, radiologi intervensi aman digunakan pada pasien," ujarnya.

Karena kesibukan, terkadang sang istri (Ester Dahlia) yang menemuinya di rumah sakit. Di saat lain, ia mengajak istri dan anaknya (Abraham Apriliawan) mengikuti undangan simposium atau untuk melakukan tindakan intervensi, di dalam atau di luar negeri.

"Kalau tidak bisa melayani keluarga, jangan berpikir untuk melayani orang lain," ujarnya tentang arti penting keluarga.

Dokter yang hobi makan lontong balap dan tahu campur ini, meski dilarang oleh anak, tetap bersikeras untuk menyanyi karena sudah menjadi hobi. "Nggak masalah saya tidak sampai selesai melantunkan syair lagu. Saya menyanyi untuk menghilangkan stress," dr. Terawan tertawa.

"Semakin tinggi kedudukan seseorang, dia semakin dituntut untuk melayani orang lain," ujar Letkol CKM dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) RI.


Quote:Kontroversi Terapi Cuci Otak

Metode terapi cuci otak juga menuai kontroversi terutama dari kalangan medis.

"Di Indonesia, brain washing (BW) dipromosi sebagai sarana mengobati stroke. Itu dilakukan oleh seorang dokter radiologist. Jadi istilah Brain Washing sebagai terapi cuci otak menyesatkan, jauh menyimpang dari maksud aslinya," tulis Prof. Dr. dr. Moh Hasan Machfoed, Sp.S(K), M.S, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Padahal semua obat dan cara pengobatan medis baru harus dibuktikan terlebih dahulu melalui penelitian secara bertahap. Mulai dari percobaan pada hewan, uji klinis pada manusia, hingga publikasi ilmiah. Namun prosedur cuci otak ala Indonesia ini nampaknya tidak mengindahkan kaidah ilmiah tersebut.

Prof Hasan menjelaskan dalam pedoman terapi atau guidelines (GL) stroke tidak dikenal istilah brain washing atau cuci otak. Dalam promosinya, cuci otak dilakukan untuk menghilangkan sumbatan dengan cara memasukkan obat ke dalam pembuluh darah otak.

Kalau memang itu yang dilakukan, lanjut Prof Hasan, prosedurnya disebut trombolisis dan obat yang digunakan adalah rt tPA atau urokinase. Pada terapi cuci otak tidak jelas obat apa yang dimasukkan karena tidak pernah diumumkan. Karena bahaya terjadinya perdarahan otak, trombolisis tidak boleh dilakukan melebihi 8 jam.

Prof Hasan berpesan, orang yang berniat mencuci otaknya perlu hati-hati. Tanya dulu pendapat dokter lainnya, terutama dari spesialis saraf yang biasa menangani stroke. Malu bertanya, bisa terjerumus di jalan.

Quote:Dahlan Iskan Mencoba Terapi Cuci Otak

Berikut ini kesaksian Dahlan Iskan yang telah mencoba terapi cuci otak :

Sambil mengambil pisau bedah, Dokter Terawan mulai menyanyikan lagu kesukaannya: Di Doa Ibuku. Suaranya pelan tapi sudah memenuhi ruang operasi itu.

Saya berbaring di depannya, di sebuah ruang operasi di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, Jumat pagi lalu. Peralatan operasi sudah disiapkan rapi. Para perawat juga sudah berada di posisi masing-masing.

Sebenarnya saya tidak dalam keadaan sakit. Juga tidak punya keluhan apa pun. Hanya saja saya memang sudah lama ingin melakukan ini: cuci otak. Sejak masih jadi Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara dulu. Keinginan itu tertunda terus oleh kesibukan yang padat, terutama setelah menjadi Menteri BUMN. Bahkan keinginan untuk coba-coba melakukan stemcell pun tertunda sampai sekarang.

Mencoba merasakan cuci otak ini bisa dianggap penting, bisa juga tidak. Saya ingin mencobanya karena ini merupakan metoda baru untuk membersihkan saluran-saluran darah di otak. Agar terhindar dari bahaya stroke atau pendarahan di otak. Dua bencana itu biasanya datang tiba-tiba. Kadang tanpa gejala apa-apa. Dan bisa menimpa siapa saja.

Saya tahu metode cuci otak Dokter Terawan ini masih kontroversial. Kalangan dokter masih terbelah pendapat mereka. Masih banyak dokter yang belum bisa menerimanya sebagai bagian dari medical treatment.

Pengobatan model Dokter Terawan, ahli radiologi yang berumur 48 tahun, yang bermitra dengan dokter Tugas, ahli syaraf yang berumur 49 tahun, ini masih terus dipersoalkan. Dia masih sering "diadili" di rapat-rapat profesi kedokteran.

Saya terus mengikuti perkembangan pro-kontra itu. Termasuk ingin tahu sendiri secara langsung seperti apa cuci otak itu. Dengan cara menjalaninya. Kesempatan itu pernah datang tapi beberapa kali tertunda. Ini karena ada pasien yang lebih mendesak untuk ditangani. Sebagai orang sehat saya harus mengalah.

Kamis malam lalu kesempatan itu datang lagi. Usai sidang kabinet di Istana, saya langsung masuk RSPAD Gatot Subroto. Berbagai pemeriksaan awal dilakukan malam itu: periksa darah, jantung, paru dan MRI. Dan yang juga penting dilakukan dokter Tugas adalah ini: pemetaan syaraf otak.

Beberapa test dilakukan. Untuk mengetahui kondisi syaraf maupun fungsi otak.

Keesokan harinya, pagi-pagi, saya sudah bisa menjalani cuci otak di ruang operasi. Saya sudah tahu apa yang akan terjadi karena dua minggu sebelumnya istri saya sudah lebih dulu menjalaninya. Saat itu saya menyaksikan dari layar komputer.

Cuci otak ini dimulai dengan irisan pisau di pangkal paha. Saat mengambil pisau, seperti biasa, adalah saat dimulainya Dokter Terawan menyanyikan lagu kesukaannya: Di Doa Ibuku.

Perhatian saya pun terbelah: mendengarkan lagu itu atau siap-siap merasakan torehan pisau ke pangkal paha yang tidak dibius. Tiba-tiba Dokter Terawan mengeraskan suaranya yang memang merdu. Saya pun kian memperhatikan lagu itu.

Saat puncak perhatian saya ke lagu itulah rupanya Dokter Terawan menorehkan pisaunya. Tipuan ini berhasil membuat rasa sakit hanya melintas sekilas.

Dan Dokter Terawan terus menyanyi:

Di waktu masih kecil
Gembira dan senang
Tiada duka kukenang
Di sore hari nan sepi
Ibuku berlutut
Sujud berdoa
Kudengar namaku disebut
Di doa ibuku


Sebuah lagu yang isinya kurang lebih saya alami sendiri saat saya masih kecil, sebelum ibu saya meninggal saat saya berumur 10 tahun. Otomatis perhatian saya ke lagu itu. Itulah cara Dokter Terawan membius pasiennya.

Saya jadi teringat saat memasuki ruang operasi menjelang ganti hati enam tahun yang lalu di RS Tianjin, Tiongkok. Ruang operasi dibuat hingar bingar oleh lagu rock yang lagi top-topnya saat itu di sana: Mei Fei Se Wu, yang berarti bulu mata menari-nari. Sebelum lagu berbahasa mandarin itu berakhir saya sudah tidak ingat apa-apa lagi: saya dimatikan selama 13 jam.

Demikian juga Dokter Terawan. Sambil terus menyanyikan Di Doa Ibuku ia mulai memasukkan kateter dari luka di pangkal paha itu. Lalu mendorongnya menuju otak. Kateter pun terlihat memasuki otak kanan. "Sebentar lagi akan ada rasa seperti mint," ujar Terawan.

Benar. Di otak dan mulut saya terasa “pyar” yang lembut disertai rasa mentos yang ringan.
Itulah rasa yang ditimbulkan oleh cairan pembasuh yang disemprotkan ke saluran darah di otak.

"Rasa itu muncul karena sensasi saja," katanya.

Hampir setiap dua detik terasa lagi sensasi yang sama. Berarti Dokter Terawan menyemprotkan lagi cairan pembasuh lewat lubang di dalam kateter itu. Saya mulai menghitung berapa “pyar” yang akan saya rasakan. Kateter itu terus menjelajah bagian-bagian otak sebelah kanan. Pyar, pyar, pyar. Lembut. Mint. Ternyata sampai 16 kali.

Begitu dokter mengatakan pembersihan otak kanan sudah selesai saya melirik jam. Kira-kira delapan menit.

Kateter lantas ditarik. Ganti diarahkan ke otak kiri. Rasa “pyar-mint” yang sama terjadi lagi. Saya tidak menghitung. Perhatian saya beralih ke pertanyaan yang akan saya ajukan seusai cuci otak nanti: mengapa dimulainya dari otak kanan?

Usai mengerjakan semua itu, Terawan menjawab. “Karena terjadi penyumbatan di otak kiri Bapak,” katanya.

Hah? Penyumbatan? Di otak kiri? Mengapa selama ini tidak terasa? Mengapa tidak ada gejala apa-apa? Mengapa saya seperti orang sehat 100%?

Dokter Terawan, kolonel TNI AD yang lulusan Universitas Gajah Mada Yogyakarta dengan spesialisasi radiologi dari Universitas Airlangga Surabaya itu, lantas menunjuk ke layar komputer. "Lihat sebelum dan sesudahnya," ujar Terawan.

Sebelum diadakan pencucian, terlihat satu cabang saluran darah yang ke otak kiri tidak tampak di layar. "Mestinya bentuk saluran darah itu seperti lambang Mercy. Tapi ini tinggal seperti lambang Lexus," katanya.

Setiap orang ternyata memiliki lambang Mercy di otaknya. "Nah, setelah yang buntu itu dijebol lambang Mercynya sudah kembali," katanya sambil menunjuk layar sebelahnya. Jelas sekali bedanya.

Karena saluran yang buntu itu maka beban gorong-gorong di otak kanan terlalu berat. "Lama-lama bisa terjadi pembengkakan dan pecah," katanya. "Lalu terjadilah perdarahan di otak," tambahnya.

Alhamdulillah. Puji Tuhan. Saya pun langsung teringat Pak Sumaryanto Widayatin, Deputi Menteri BUMN bidang Infrastruktur dan Logistik yang hebat itu. Yang juga ketua alumni ITB itu. Yang idenya banyak itu. Yang terobosan birokrasinya tajam itu. Sudah hampir setahun terbaring tanpa bisa bicara dan hanya sedikit bisa menggerakkan anggota badan.

Saluran darah ke otaknya pecah justru di tengah tidurnya menjelang dini hari. Saya sungguh menyesal tidak menyarankannya ke Terawan sebelum itu. Penyesalan panjang yang tidak berguna. Kini, setelah perawatan yang panjang oleh istrinya yang hebat, Pak Sum memang terlihat kian segar dan pikirannya tetap hidup bergairah, tapi masih perlu banyak waktu untuk bisa bicara.

Setelah cuci otak ini berhasil membersihkan gorong-gorong yang buntu, saya kembali ke kamar. Kaki tidak boleh bergerak selama tiga jam. Tapi sore itu saya sudah bisa terbang ke Surabaya. Untuk merayakan imlek bersama masyarakat Tionghoa dan besoknya mengadakan khataman Al Quran bersama para hufadz di rumah saya.

Tiap hari Dokter Terawan sibuk dengan antrean yang panjang. Ada yang karena sakit ada juga yang karena ingin tetap sehat.

Bagi yang cito! akan langsung ditangani. Tapi bagi yang sehat antrenya sudah mencapai tiga bulan. Ini karena hanya sekitar 15 orang yang bisa ditangani setiap hari. Lebih dari itu bisa-bisa Terawan sendiri yang akan mengalami pendarahan di otaknya.

Belum diterimanya metode ini oleh dunia kedokteran di seluruh dunia membuat gerak Terawan terbatas. Misalnya tidak bisa secara terbuka mengajarkan ilmunya itu ke dokter-dokter lain agar antrean tidak terlalu panjang. Sampai hari ini baru dialah satu-satunya di dunia yang bisa melakukan cara ini.

Kalau profesi dokter tidak segera bisa menerima metode ini, jangan-jangan Persatuan Insinyur Indonesia yang akan segera mengakuinya. Anggap saja Terawan ahli membersihkan gorong-gorong yang buntu. Hanya saja gorong-gorong itu letaknya tidak di Bundaran HI.