Laman

Tuesday, June 28, 2011

Henky Tupanwael - Penjahat dan Eks-Penjahat Legendaris Indonesia

Eksekusi mati : 5 Januari 1980

MEMANG tidak setenar Kusni Kasdut. Namun sejarah kejahatan yang dibuatnya cukup panjang. Setidaknya Henky Tupanwael bukan orang asing bagi penjara. Ia memulai debutnya sebagai pencuri kecil masuk bui khusus anak-anak karena mencuri sepotong celana. Pada usia muda, sekitar 17 tahun, ia menembak seorang polisi militer. Karena kejahatannya tersebut Henky mulai berkenalan dengan penjara yang sebenarnya di Sukamiskin, Bandung, 1951.
Beberapa tahun kemudian, 1957, anak muda kelahiran Ende (Flores) 46 tahun lalu itu meningkatkan kadar kejahatannya. Ia melakukan perampasan hingga harus masuk penjara lagi selama tiga tahun. Lepas dari hukuman, tidak kapok, ia berbuat sesuatu "yang lebih berarti": merampok Bank Ekonomi Nasional di Bandung. Kali ini ia tidak betah menghabiskan masa hukuman yang harus dijalaninya selama 4 tahun 6 bulan. Ia kabur, 1963, dari penjara Banceui. Ia tertangkap dan masuk bui lagi, karena terlibat peristiwa penggarongan di rumah seorang hakim di Bandung. Akibat peristiwa tersebut Henky dijebloskan ke penjara Nusakambangan.

Mestinya ia harus mendekam di sana 11 tahun. Tapi belum lagi setahun, ia dapat lari dengan berenang menyeberangi Segara Anakan. Selepas dari Nusakambangan Henky kembali bergabung dengan teman-temannya di Jakarta. Dari Kebayoran Lama (Jakarta) Henky dkk. merencanakan merampok mobil Bank Nusantara. Dan perampokan mereka itu memang berhasil. "Omset" Henky kali ini kakap: Rp 21 juta lebih. Ia juga menembak mati dua orang. Itulah kejahatan Henky terakhir. Ia tertangkap. Mula-mula ia memang kembali dapat melarikan diri dari tempat tahanan polisi: Tapi 13 hari kemudian, ia diringkus kembali di suatu tempat di Tanah Abang Jakarta.

Duduk terakhir kalinya sebagai terdakwa, Henky diadili oleh Hakim Thamrin Manan (sekarang advokad), di Jakarta. Di situ, menurut Thamrin, ia tidak rewel. Malah, dengan caranya sendiri, pernah membantu kelancaran sidang. Inilah kisah Thamrin Manan yang menjatuhkan hukuman mati atasnya. Ketika itu Henky dihadapkan ke muka hakim tunggal (waktu itu belum ada ketentuan harus hakim majelis) dengan tangan masih terborgol. Hakim, tentu saja, tak menghendaki yang demikian itu. Tapi perintahnya agar borgol dibuka tak dapat dituruti sebab petugas lupa membawa kuncinya. Hakim, yang tak sudi mengadili pesakitan dengan tangan tergari, hampir saja menunda persidangan. Tapi tiba-tiba Henky angkat tangan kalau diizinkan ia dapat membuka borgol tanpa kunci. Thamrin Manan tercengang tapi mengangguk juga. Dan, benar saja: dengan mudah Henky membebaskan borgol dari tangannya. Pun ketika di penjara Pamekasan belakangan ini, ia konon dengan mudah bisa minggat.

"Bagi anak saya, melarikan diri dari penjara sesuatu yang mudah" ujar ayahnya, Jacob Mathias Tupanwael di Bandung. Ia baru pulang dari membezuk Henky untuk yang terakhir kalinya. Ayah ini selalu mengancam: "Bila melarikan diri, (dari penjara terakhir) yang menembak bukan polisi, tapi saya sendiri, ayahnya." Selain daripada itu, menurut sang bapak, selama 14 tahun di penjara Henky sudah benar-benar tobat. Yang disesali oleh Tupanwael sekeluarga bukanlah hukuman matinya itu sendiri, tapi kenyataan, bahwa harapan yang muncul pada Henky selama berbuat baik di penjara ternyata tidak menolongnya. Apa boleh buat. Sebagai ayah, kata J.M. Tupanwael, pendeta Gereja Prorestan pensiunan tentara ini, ia sudah berusaha berbuat sebaik-baiknya bagi anak-anaknya, termasuk Henky.
Di lingkungan keluarganya Henky termasuk anak yang penurut. Wataknya periang dan suka menolong saudara-saudaranya. "Tapi lingkungan pergaulannya di luar ternyata menyebabkan Henky jadi orang jahat," katanya. Nasihat bukannya tak sering dituturkannya -- terutama bila diketahui Henky habis berbuat sesuatu kejahatan. Tapi, ya, "kelemahan saya, sebagai ayah, tidak tahu dengan siapa ia bergaul." Sekarang semuanya sudah terjadi. Betapa pun hatinya lapang. Apalagi tampak olehnya Henky menghadapi pelaksanaan hukuman matinya dengan tabah. "Itu menyebabkan kami berbesar hati," kata Tupanwael, "saya yakin pada diri Henky ada sesuatu yang menguntungkan -- dia sudah pasrah dan tobat kepada Tuhan." Meskipun, dalam kenyataan, Henky menolak untuk berdoa. Pesan Henky tak banyak. Ia minta agar jenazahnya dikuburkan di Bandung -- "biar dekat sama papa, mama dan saudara-saudaraku [ibu kandungnya wafat 1978 -- Red]," katanya. Barangkali ini tak bisa dipenuhi lekas-lekas. Sebab, menurut Tupanwael, kejaksaan hanya mengizinkan pemindahan makam 5-6 bulan lagi, atau mungkin malah setahun kemudian.

Pesan lain kepada keluarganya tak ada. Hanya kepada adiknya, Benny (39 tahun), Henky yang banyak bergurau berkata serius. Kata Henky menurut Benny: "Hukuman mati terhadap diri saya, saya kira efeknya positif biar penjahat takut dan bertobat. Sebab risiko dari kejahatannya adalah hukuman mati. Biarlah saya jadi tumbal. Asal setelah saya jangan ada lagi kejahatan yang bisa menyebabkan jatuhnya hukuman mati . . . "

Dan inilah catatannya yang dibuat tengah malam, beberapa jam sebelum mati:

“Megah-megah dalam penjara hingga segalanya harus ditentang Nyisih dari segala kegelapan akan pudar Megah-megah dalam penjara hingga datang kemenangan jiwa Aku bangga aku bangga Karena kelelahan jerih payahku Kan kuperuntukan hanya bagi kemulyaan Tuhan Di mana tanah tandus di situlah aku bercocok tanam.”

Henky Tupanwael, garong kambuhan yang bolak balik masuk penjara karena kasus perampokan dan pembunuhan, menuliskan paragraf itu pada tengah malam menjelang eksekusi hukuman matinya pada 1980. Tak begitu jelas apa artinya –mungkin sajak, mungkin juga do’a.