Laman

Friday, June 15, 2012

Cikal Bakal Legenda Bisnis Liem Sioe Liong

Perusahaan Liem berkembang biak karena dia mampu menjalin hubungan dengan petinggi negeri.


VIVAnews - Dalam dunia bisnis nama Sudono Salim atau Liem Sioe Liong sudah tak asing lagi. Pendiri Grup Salim ini sudah jadi legenda. Bisnisnya di mana-mana, seluruh pelosok negeri, bahkan lintas benua.

Karier awal Liem tak banyak yang tahu. Ia lahir di Tiongkok, 10 September 1915. Kekejaman Jepang pada 1936 membulatkan tekadnya merantau ke Kudus, Jawa Tengah, menyusul kakaknya Liem Sio Hie, dan dua pamannya Liem Kim Tjai dan Liem Ban Hong.

Sesampai di kota kretek, ia lalu bergabung dengan kakaknya dalam bisnis perdagangan minyak kacang tanah. Setelah itu, dia memperluas bisnisnya pada perdagangan cengkih dan jadi pemasok ke perusahaan-perusahaan kretek di Kudus.

Seperti dikutip dalam buku Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia karya Richard Robison, pada 1945 perusahaan Liem berkembang biak karena dia mampu menjalin hubungan dekat dengan petinggi negeri ini. Ia berperan sebagai pemasok makanan, pakaian, obat-obatan. Saat memasok kebutuhan tentara inilah dia kenal dengan Soeharto yang saat itu masih menjadi Pangdam Diponegoro, Jawa Tengah.

Selain sektor perdagangan, Liem pada permulaan 1950 juga meluaskan bisnisnya ke sektor lain dengan mendirikan Bank Windu Kencana. Kemudian pada 1957 mendirikan Bank Central Asia. Sehingga saat Soeharto meraih kekuasaan pada 1966, Liem merupakan taipan yang sudah memiliki grup dengan berbagai macam usaha.

Kedekatan dengan Soeharto membuat Liem memiliki berbagai macam lisensi perdagangan. Pada komoditas terigu misalnya, dengan membangun Waringin Kencana, Liem berkongsi dengan Sudwikatmono, keluarga dekat Soeharto. Waringin berkembang pesat gara-gara diberi izin ekpsor kopi dan karet. Dalam impor, Waringin juga mendapat keuntungan dari komoditas cengkih.

Usahanya berkembang pesat dan Liem mulai melirik sektor otomotif. Dia membeli lisensi distribusi Volvo, Hino, dan Sumitomo. Memang usaha ini agak telat dibandingkan taipan-taipan lain, seperti William Soerjadjaja yang telah memiliki Toyota dan Daihatsu.

Di sektor manufaktur, Liem membangun pabrik terigu melalui PT Bogasari, pabrik tekstil melalui PT Tarumatex, dan pabrik semen pelalui PT Indocement. Di tepung terigu, dia mendapat lisensi mendistribusikan tepung terigu di Indonesia bagian barat dan pada 1983 Bogasari berhasil menguasai pasar terigu hingga US$400 juta.

Tak cuma terigu, semen hasil produksinya juga berhasil menguasai 30 persen pangsa pasar di Indonesia. Pembangunan infrastruktur yang jor-joran membuat pabrik ini semakin untung, dan produksinya pun terus bertambah hingga Indocement memiliki lima pabrik. Dalam bisnis semen, Liem berkongsi dengan Djuhar Sutanto, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risjad.

Di sektor konstruksi dan properti dia bekerjasama dengan Ciputra melalui Grup Metropolitan yang membangun Wisma Metropolitan, Hotel Mandarin, dan kawasan rumah mewah Pondok Indah.

Di bidang perbankan, bisnis terpenting Liem adalah BCA. Ia menggandeng Mochtar Riady (pemilik Grup Lippo) dengan pembagian saham kala itu 24 dan 17,5 persen. Belakangan, BCA dan sejumlah aset Liem harus dilepas untuk menebus dana talangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebesar Rp52 triliun.

Liem saat ini masih menguasai sejumlah bisnis lain, seperti Grup Indofood yang bergerak dalam bidang makanan dan First Pacific Holdings yang dikendalikan dari luar negeri. Bisnis ini sekarang dikendalikan anaknya, Anthoni Salim.
Liem, sejak kerusuhan meletup pada Mei 1998, memilih menghabiskan hari tuanya di Singapura, hingga meninggal pada Minggu 10 Juni 2012 lalu